JAKARTA - Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) berencana mengajukan judicial review atau uji materi UU Nomor 39 Tahun 1999 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal ini dilakukan jika Ketua KPK Firli Bahuri dan pimpinan lainnya tak hadir saat dipanggil dan diperiksa oleh Komnas HAM terkait pelaksanaan Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
"Jika uji materi ini dikabulkan maka memberikan hak dan landasan yang kuat kepada Firli Bahuri, Ketua KPK untuk menolak panggilan Komnas HAM," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 10 Juni.
Namun, jika yang terjadi justru sebaliknya maka Ketua KPK dan semua pihak yang dipanggil Komnas HAM harus hadir. "Karena tidak ada manusia istimewa yang kebal dari proses di Komnas HAM," tegasnya.
Boyamin mengatakan ada sejumlah pasal dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 yang akan digugat. Pertama adalah Pasal 89 Ayat (3) huruf c yang berbunyi: Komnas HAM berwenang melakukan pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya.
"(Ini, red) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai berlaku terhadap semua WNI, instansi pemerintah dan badan hukum swasta kecuali terhadap Ketua KPK Firli Bahuri dan atau Pimpinan KPK lainnya," ungkapnya.
BACA JUGA:
Selanjutnya, MAKI juga akan menggugat Pasal 94 Ayat (1) yang berbunyi: Pihak pengadu, korban, saksi, dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 Ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM. Menurutnya, pasal ini berlaku bagi semua WNI, instansi pemerintah, dan badan hukum tapi tidak untuk Firli Bahuri dkk.
Terakhir, gugatan uji materil juga akan diajukan untuk Pasal 95 yang bunyinya: Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sama seperti dua pasal sebelumnya, dia menyebut aturan ini juga tak berlaku bagi Firli Bahuri dkk.
"Uji materi ini diajukan secara serius, bukan bermaksud menyindir siapapun. Bukan bermaksud memberikan hak istimewa kepada Firli Bahuri," ujarnya.
"Namun, jika uji materi ini dikabulkan maka menunjukkan Ketua KPK Firli Bahuri adalah orang yang istimewa sehingga perlu diberi kekebalan dari panggilan Komnas HAM," imbuh Boyamin.
Diberitakan sebelumnya, tak ada satupun pimpinan KPK yang menghadiri panggilan dari Komnas HAM pada Selasa, 8 Juni lalu dan memilih mengirimkan surat. Adapun pemanggilan ini berkaitan dengan pelaksanaan TWK yang berujung penonaktifan 75 pegawai komisi antirasuah termasuk penyidik senior Novel Baswedan.
"Senin, 7 Juni 2021, pimpinan KPK telah berkirim surat kepada Komnas HAM untuk meminta penjelasan lebih dahulu mengenai hak asasi apa yang dilanggar pada pelaksanaan alih status pegawai KPK," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan.
Lebih lanjut, Ali menegaskan alih status kepegawaian yang dilakukan oleh KPK adalah amanat undang-undang. Pelaksanaan TWK yang jadi syarat juga sudah sesuai dengan mekanisme dan aturan perundangan yang berlaku.
Sebagai informasi, Tes Wawasan Kebangsaan diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, 1.274 orang dinyatakan memenuhi syarat.
Sementara 75 pegawai termasuk Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid, dan Direktur PJKAKI Sujarnarko dinyatakan tak memenuhi syarat (TMS). Sedangkan dua pegawai lainnya tak hadir dalam tes wawancara.
Menurut penuturan para pegawai yang dinyatakan tidak lolos, ada sejumlah keganjilan dalam pelaksanaan asesmen ini. Termasuk, ada sejumlah pertanyaan yang dianggap melanggar ranah privat.
Para pegawai yang tak lolos ini, lantas melaporkan pelaksanaan TWK ke Komnas HAM. Selanjutnya, dibentuklah tim khusus yang dipimpin oleh dua komisioner yaitu Choirul Anam dan Sandrayati Moniaga untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM dalam tes ini.
Selain menyampaikan laporan ke Komnas HAM, para pegawai ini juga melaporkan pimpinannya ke sejumlah pihak dari mulai Dewan Pengawas KPK hingga Ombudsman RI.