JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menegur dan membatalkan keputusan pimpinan KPK dan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN). Desakan itu buntut dari pemecatan 51 dari 75 pegawai yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).
"(Mendesak) Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK," dikutip VOI dari situs ICW di laman antikorupsi.org Rabu, 26 Mei.
"(Mendesak) Presiden Joko Widodo membatalkan keputusan Pimpinan KPK dan Kepala BKN dengan tetap melantik seluruh pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara," sambung ICW.
Tak hanya itu, ICW juga meminta Dewan Pengawas (Dewas) untuk segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan KPK terkait pemberhentian pegawai dalam Tes Wawasan Kebangsaan.
Desakan itu bukan tanpa alasan. Sebab, ICW menilai pengadaan TWK telah melanggar undang-undang. Bahkan, dianggap tes itu sengaja diselundupkan.
"TWK diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK," paparnya.
BACA JUGA:
Kemudian, ICW juga menganggap keputusan pemecatan 51 pegawai KPK sebagai tindakan melawan perintah Presiden Jokowi. Alasannya, sebelumnya Jokowi sudah meminta agar hasil tes tidak serta merta jadi alasan untuk memberhentikan puluhan pegawai KPK.
"Pernyataan Pimpinan KPK dan Kepala BKN patut dianggap sebagai upaya pembangkangan atas perintah Presiden Joko Widodo. Patut diingat, beberapa waktu lalu Presiden telah menegaskan bahwa TWK tidak bisa dijadikan dasar untuk memberhentikan sejumlah pegawai KPK," tulis dalam keterangan itu.
Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN.
Selain itu, akibat perubahan UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan kebijakan administrasi yang bertolak belakang dengan pernyataan Presiden.
Bahkan, dengan pengadaan TWK yang terkesan terburu-buru ini muncul berbagai macan dugaan negatif. Salah satunya, soal kerja sama antara pimpinan KPK dengan pihak-pihak tertentu untuk menyingkirkan puluhan pegawai tersebut.
"Patut diduga ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK untuk memberhentikan pegawai-pegawai KPK," tandasnya.