Bagikan:

JAKARTA - Eks Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto menduga Firli Bahuri dkk melakukan kolusi atau pemufakatan dengan lembaga lainnya, termasuk Badan Kepegawaian Negara (BKN). Tujuannya, diduga untuk melegalkan hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Hal ini disampaikannya untuk menanggapi pemecatan terhadap 51 pegawai KPK yang efektif dilaksanakan pada 1 November mendatang. Ini merupakan hasil dari rapat koordinasi yang dilakukan oleh KPK, BKN, dan kementerian/lembaga lain untuk membahas nasib 75 pegawai yang tak lolos TWK pada Selasa, 25 mei.

"Ketua KPK dan pimpinan lembaga tinggi negara lain yang mendukung patut diduga telah berkolusi untuk melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara melegalisasi hasil TWK yang kontroversial dan tidak akuntabel tersebut," kata BW, sapaan Bambang, dalam keterangannya kepada wartawan yang dikutip Kamis, 27 Mei.

Sehingga, mereka harusnya masuk dalam kualifikasi obstruction of justice karena telah mengganggu dan menghalangi upaya memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan komisi antirasuah. Selain itu, Bambang juga menganggap keputusan pemecatan adalah indikasi kuat bukan hanya menentang tapi juga menista Presiden.

Anggapan ini disampaikan karena beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar alih status kepegawaian tak merugikan pegawai KPK. "Tindakan dimaksud secara faktual juga dapat dinilai sebagai perbuatan kriminal karena melawan perintah atasan dari penegak hukum, dalam hal ini, presiden sesuai Pasal 160 KUHP," tegas Bambang.

Sehingga, BW meminta Presiden sebagai pejabat tertinggi Aparatur Sipil Negara (ASN) segera mengambil tindakan. Sebab, dia menganggap Jokowi punya otoritas untuk mengintervensi persoalan alih status kepegawaian berdasarkan Pasal 3 ayat (7) PP 17 Tahun 2020 tentang Manajemen ASN. 

"Presiden diusulkan mendelegitimasi atau membatalkan Keputusan ketua KPK yang dibackup para pembantunya tersebut," ungkapnya.

Menurut Bambang, langkah ini menjadi penting. Sebab, jika Presiden Jokowi tak tegas menyelesaikan permasalahan ini maka dirinya akan dituding sebagai pihak yang turut menghancurkan KPK dan menyingkirkan pegawai terbaiknya.

Apalagi, Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menjadi alat ukur pemecatan 51 pegawai ini banyak dipertanyakan kredibilitasnya oleh berbagai pihak dan disimpulkan memuat unsur rasisme, intoleransi, hingga dianggap berpihak pada kepentingan perilaku koruptif dan otoriter.

"Pegawai KPK sudah menunjukan kinerjanya. Bagaimana mungkin, TWK yang absurd itu dipakai untuk menyingirkan Pegawai KPK yang sudah terbukti kinerjanya sangat baik, mengikhlaskan nyawa dan matanya untuk berantas korupsi," katanya.

Diberitakan sebelumnya, KPK telah melaksanakan rapat koordinasi untuk membahas nasib 75 pegawai yang gagal Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dan dinonaktifkan. Selain KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), rapat ini juga dihadiri oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly serta MenPANRB Tjahjo Kumolo.

Hasilnya, 51 pegawai KPK dari jumlah keseluruhan 75 pegawai yang tak lolos TWK dipastikan dipecat dari pekerjaannya. Sementara 24 pegawai masih mungkin dilakukan pembinaan.

Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) diikuti 1.351 pegawai KPK. Dari jumlah tersebut, 1.274 orang dinyatakan memenuhi syarat.

Sedangkan 75 pegawai termasuk Novel Baswedan, Ketua Wadah Pegawai KPK yang juga penyidik Yudi Purnomo, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono, Kasatgas KPK Harun Al-Rasyid, dan Direktur PJKAKI Sujarnarko dinyatakan tak memenuhi syarat (TMS). Berikutnya, dua pegawai lainnya tak hadir dalam tes wawancara.