JAKARTA - Sebanyak 51 dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) bakal dipecat. Menanggapi hal ini, sejumlah pihak meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bersuara karena pemecatan ini tak sesuai dengan perintahnya beberapa waktu lalu.
Setelah menggelar rapat bersama sejumlah pihak terkait, Selasa, 25 Mei lalu, KPK dan BKN mengumumkan nasib 75 pegawai yang tak lolos TWK sebagai syarat alih status. Hasilnya, hanya 24 pegawai yang bisa diselamatkan sementara 51 pegawai lainnya bakal dipecat karena diberi ponten merah oleh asesor.
Polemik pun muncul dari hasil rapat tersebut. Salah satunya berasal dari Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mendesak Jokowi untuk menegur pimpinan KPK dan Kepala BKN.
"ICW mendesak agar Presiden Joko Widodo memanggil, meminta klarifikasi, serta menegur Kepala BKN dan seluruh Pimpinan KPK atas kebijakan yang telah dikeluarkan perihal pemberhentian 51 pegawai KPK," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 26 Mei.
Tak sampai di situ, pegiat antikorupsi ini juga meminta puluhan pegawai ini untuk tetap dilantik sebagai aparatur sipil negara (ASN). Ini artinya, ICW meminta Presiden Jokowi untuk membatalkan keputusan yang telah diambil oleh pimpinan KPK dan Kepala BKN.
Kurnia menyebut, permintaan ICW ini didasari beberapa hal. Termasuk, dugaan tes tersebut telah melanggar undang-undang bahkan sengaja diselundupkan.
"TWK diselundupkan secara sistematis oleh Pimpinan KPK melalui Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 (Perkom 1/2021). Padahal, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tidak mengamanatkan metode seleksi untuk alih status kepegawaian KPK," jelasnya.
Selain itu, Jokowi diminta angkat suara karena pemecatan ini sama saja telah melawan perintah sebelumnya. Di mana, eks Gubernur DKI Jakarta itu telah meminta agar hasil TWK tak jadi alasan memberhentikan puluhan pegawai KPK tapi hal ini malah dianggap bak angin lalu.
Padahal, berdasarkan Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Selain itu, akibat perubahan UU KPK, khususnya Pasal 3, lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif.
"Jadi, pada dasarnya, tidak ada alasan bagi dua lembaga itu mengeluarkan kebijakan administrasi yang bertolak belakang dengan pernyataan presiden," tegas Kurnia.
Dirinya juga menyinggung jika pemecatan puluhan pegawai berdasarkan hasil TWK juga terkesan terburu-buru tanpa mekanisme evaluasi secara menyeluruh. Padahal, sejak awal tes ini sudah menimbulkan polemik karena diduga terjadi pelanggaran di dalamnya.
Bahkan, untuk menegaskan pelanggaran tersebut puluhan pegawai ini sudah mengadu ke sejumlah lembaga negara seperti Ombudsman RI dan Komnas HAM.
Terakhir, ICW juga memandang ada sejumlah kelompok yang bersekongkol dengan Pimpinan KPK untuk memberhentikan kerja puluhan pegawai ini. "Indikasi ini menguat tatkala para pendengung atau buzzer memenuhi media sosial dan diikuti pula dengan upaya peretasan kepada pihak-pihak yang mengkritisi TWK," ungkapnya.
"Namun, isu yang dibawa oleh para buzzer terlihat usang dan tidak pernah bisa menunjukkan bukti konkret, misalnya tuduhan taliban dan radikalisme di KPK," imbuh dia.
Sehingga, selain meminta Presiden Jokowi angkat bicara, ICW juga meminta Dewan Pengawas KPK bertindak. Caranya dengan menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik yang telah dilakukan pimpinan KPK.
"Dewan Pengawas segera menyidangkan dugaan pelanggaran kode etik seluruh Pimpinan KPK terkait pemberhentian pegawai dalam Tes Wawasan Kebangsaan," kata Kurnia.
BACA JUGA:
TWK harusnya tak perlu jadi polemik
Ramainya sorotan dan desakan dari publik, termasuk ICW, soal TWK yang berujung pada pemecatan 51 pegawai KPK ini lantas ditanggapi Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Dia meminta masalah ini tak seharusnya menjadi polemik karena ini adalah hal yang biasa.
Penyebabnya, tes semacam TWK bukan hanya diadakan di KPK saja tapi juga di berbagai instansi lain. Moeldoko mengatakan, tes ini merupakan bentuk penguatan kebangsaan bagi pegawai pemerintah.
"Tidak hanya ranah KPK saja tetapi seluruh mereka yang berproses atas alih status menjadi ASN di semua lembaga. Sebenarnya sudah berlaku di semua lembaga dan termasuk juga di kalangan BUMN," ungkapnya.
Begitu juga dengan pegawai yang tak lolos. Kata dia, hal ini juga kerap terjadi ketika TWK dilakukan di instansi lain, salah satunya di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
"Soal tidak lolos uji TWK sebenarnya tidak hanya di KPK tetapi juga di lembaga-lembaga lain pernah terjadi seperti itu kondisinya. Bahkan di BPIP juga ada ya. Begitu tes TWK, mereka ternyata tidak lolos. Kenapa itu tidak ribut? Kenapa yang di KPK begitu diributkan gitu?” kata mantan Panglima TNI ini.
Sehingga, dia menyebut perlu dipikirkan sejumlah skenario atas perbaikan terhadap yang pegawai yang wawasan kebangsaannya masih kurang. Termasuk melalui pendidikan kedinasan.
Tak hanya itu, Moeldoko juga menyarankan agar ke depan mekanisme tes harus disusun dengan lebih baik. Bahkan jika perlu, dapat melibatkan organisasi seperti NU dan Muhammadiyah.
"KSP dalam hal ini merekomendasikan untuk juga melibatkan NU dan Muhammadiyah yang telah teruji mampu merajut simbol kebangsaan dan kebhinekaan Indonesia," pungkasnya.