JAKARTA - Sebanyak 51 dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) resmi diberhentikan. Keputusan itu diambil dalam rapat yang melibatkan perwakilan sejumlah lembaga dan kementerian di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kita catat pejabat yang terlibat dalam keputusan pemecatan ini.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut pihak-pihak yang mewakili kementerian atau lembaga di rapat itu. Mereka adalah Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumulo dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly.
Selain itu ada juga Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana dan perwakilan Lembaga Administrasi Negara (LAN) serta Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Mereka membahas nasib para pegawai KPK itu bersama tim asesor.
"Hadir dalam rapat tadi KPK, ada juga Menpan RB Pak Tjahjo, Pak Menteri Hukum dan HAM Pak Yasonna, kemudian dari KASN, dari LAN, dari BKN sendiri, dan asesor," kata Alexander dalam jumpa pers di Kompleks Kantor BKN, Jakarta Timur, Selasa, 25 Mei.
Rapat itu dimulai pukul 09.00 WIB dan rampung pada sore hari. Rapat itu menyepakati 24 nama pegawai yang diberikan kesempatan untuk mengikuti pembinaan. Sisanya harus dikeluarkan dari Lembaga Antirasuah.
Para pegawai KPK itu, yang berjumlah 24 memiliki kesempatan menjadi ASN jika lulus dalam proses lanjutan. "Sedangkan 51 orang, kembali lagi dari asesor, dia bilang warnanya sudah merah, tidak memungkinkan dilakukan untuk pembinaan," tutur Alex.
Negara tak punya waktu membina
Wakil Kepala BKN Suprawana Yusuf menjelaskan dasar keputusan yang diambil rapat. Intinya negara tak memiliki waktu untuk melakukan pembinaan terhadap 51 pegawai KPK yang mereka sebut bermasalah 'Ke-Indonesiaannya'.
Berdasar UU KPK, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN harus rampung pada Oktober tahun 2021. Rapat meyimpulkan tak cukup waktu membina para pegawai KPK itu.
"Kenapa ini dianggap tidak bisa dibina karena kita kan ada concern waktu juga. Mandat atau perintah dari Undang-Undang 19 Tahun 2019 itu memberikan waktu untuk peralihan pegawai KPK menjadi ASN itu 2 tahun sejak tanggal 17 Oktober 2019," Suprawana, dikutip dari program Satu Meja di Kompas TV.
Iya, 17 Oktober 2019 adalah disahkannya UU KPK yang telah direvisi. Pengesahan UU itu dilakukan di tengah demonstrasi dan derasnya penolakan publik.
Suprawana menjelaskan tim asesor memiliki norma yang secara teori menyimpulkan mustahil 51 pegawai KPK itu dapat berubah dalam waktu singkat. "Tiga tahun sejak asesmen itu tidak akan banyak mengalami perubahan," Suprawana.
"Apalagi bicara tentang value, nilai-nilai, keyakinan, itu tidak mungkin berubah seminggu sebulan, 3 bulan, enggak mungkin. Jadi nggak mungkin kita penuhi batas waktu 17 Oktober itu bisa selesai," Suprawana.
"Jadi tanggal 17 Oktober 2021 itu harus selesai semua peralihannya. Sekarang sudah bulan Mei," tuturnya.
Tiga aspek yang tak terpenuhi
Lebih lanjut, penilaian proses asesmen alih status pegawak KPK terdiri dari tiga aspek utama. Pertama dukungan atau kesetiaan terhadap Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah.
Yang kedua adalah pengaruh terhadap keluarga, lingkungan, teman atau kelompok tertentu. Aspek terakhir, hal-hal pribadi terkait keyakinan, motivasi, serta nilai.
Dan para pegawai KPK yang tak lolos itu, kata Suprawana tak memenuhi ketiga aspek tersebut. 51 dari 75 pegawai KPK yang tak lolos itu terdiri dari 13 penyidik.
Tujuh orang di antaranya adalah pensiunan polisi dan berstatus sebagai Kepala Satuan Tugas. Sementara, enam lainnya adalah rekrutan independen dari kalangan sipil.
Mereka adalah Novel Baswedan, Ambarita Damanik, Budi Agung Nugroho, Andre Dedy Nainggolan, Rizka Anungnata, Afief Julian Miftah, Budi Sukmo, Yudi Purnomo, Praswad Nugraha, Marc Falentino, Hebert Nababan, Hasan, serta R. Paul Sinyal.
*Baca Informasi lain soal KPK atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.