Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI menegaskan tak mau jika hanya bertemu menteri di pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas pelanggaran yang terjadi dalam proses Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan, pertemuan harus langsung dengan Presiden Jokowi agar mendengar hasil temuan dan rekomendasi yang diserahkan.

"Kita tentu mengupayakan untuk bisa bertemu dengan beliau (Presiden Jokowi, red) tidak sekadar di level pembantunya karena sudah bolak-balik kita diskusi," kata Robert dalam diskusi daring yang ditayangkan di YouTube Sahabat ICW, Minggu, 19 September.

Presiden Jokowi, sambungnya, bukan hanya perlu mendengar tapi menyampaikan tanggapan terkait hal ini. Apalagi hal ini berkaitan dengan sopan santun kenegaraan seperti yang pernah disampaikannya beberapa waktu lalu.

"Kalau kemarin presiden bilang, saya menunggu apa yang diputuskan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) maka kalau katanya ini sopan santun kenegaraan, maka penting berlaku adil bagi kami di Komnas HAM maupun Ombudsman RI karena ini adalah hubungan antar lembaga," tegas Robert.

"Saya kira fatsun ketatatanegaraan perlu diperlihatkan untuk tidak menunjukkan ada pilih kasih, diskriminasi. Terhadap yang mungkin baik untuk pemerintah kita diskusi tapi ketika sesuatu tidak baik, apapun artinya pintu malah tertutup," imbuh dia.

Lebih lanjut, Robert juga menegaskan Presiden Jokowi tidak bisa lepas tangan atas persoalan TWK pegawai KPK yang berujung pemecatan 57 pegawai. Dia mengatakan, rekomendasi dan temuannya diserahkan kepada kepala negara karena sesuai dengan aturan perundangan.

"Kami justru salah kalau rekomendasi kami tidak bermuara ke Bapak Presiden," ujarnya.

Lagipula, secara kelembagaan KPK berada pada rumpun eksekutif sehingga keputusan tertinggi berada di Presiden. Begitu juga dengan permasalahan TWK.

Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi telah merespons pemecatan 57 pegawai KPK yang didepak akibat gagal TWK. Dia enggan merespons dan meminta agar tak ditarik dalam polemik tersebut.

Pertanggungjawaban, kata Jokowi ada di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB). "Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," ungkapnya.

Sebagai informasi, 57 pegawai tak bisa lagi bekerja di KPK karena mereka tak bisa menjadi ASN sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019. Para pegawai tersebut di antaranya penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, penyelidik KPK Harun Al-Rasyid, serta puluhan nama lainnya.

Komisi antirasuah berdalih ketidakbisaan mereka menjadi ASN bukan karena aturan perundangan seperti Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 melainkan karena hasil asesmen mereka.

Tak hanya itu, KPK juga memastikan para pegawai telah diberikan kesempatan yang sama meski mereka telah melewati batas usia atau pernah berhenti menjadi ASN.