Permintaan Presiden Jokowi Tak Ditarik ke Polemik TWK KPK Justru Jadi Sorotan
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah meminta dirinya tak ditarik ke dalam polemik Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang berujung pemecatan 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hanya saja, sikap tersebut justru menimbulkan kritikan dari sejumlah pihak.

Beberapa waktu yang lalu, Presiden Jokowi menyebut pertanggungjawaban terkait TWK yang menggagalkan puluhan pegawai KPK menjadi ASN bukan berada di tangannya tapi di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Kemenpan-RB). Sehingga, ia meminta agar dirinya tak ditarik ke polemik tersebut.

"Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan-santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," ungkap eks Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Pernyataan itu sontak menjadi sorotan. Eks Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi tidaklah tepat.

Bicara dari segi apapun baik normatif hingga administrasi negara, sambung Saut, ketika suatu lembaga berada di rumpun eksekutif tentu Presiden punya andil untuk melakukan perbaikan. Termasuk bila terjadi polemik di dalamnya seperti yang saat ini dialami KPK.

Apalagi, dia menganggap pedang pemberantasan korupsi harusnya dipegang oleh Presiden sebagai kekuasaan tertinggi. "Ini memang tugasnya Pak Jokowi. Ini tugas beliau untuk menata pemberantasan korupsi," kata Saut saat dihubungi VOI melalui sambungan telepon.

Ia menyinggung di negara lain, seorang kepala negara selalu melakukan check and balance supaya pemberantasan korupsi bisa berjalan lancar.

"Jadi kalau dibilang jangan ditarik-tarik, ya itu memang tugas Pak Jokowi. Anda kan digaji untuk itu, menertibkan negeri ini supaya lebih bersih," tegas Saut.

Permintaan agar Presiden Jokowi tidak lepas tangan terhadap polemik juga disampaikan oleh Ombudsman RI. Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan lembaganya tetap meminta waktu bertemu dengan Jokowi.

Tujuannya, agar kepala negara tersebut bisa mendengar hasil temuan dan penjelasan terkait rekomendasi secara jelas.

"Kita tentu mengupayakan untuk bisa bertemu dengan beliau (Presiden Jokowi, red) tidak sekadar di level pembantunya karena sudah bolak-balik kita diskusi," kata Robert dalam diskusi daring yang ditayangkan di YouTube Sahabat ICW, Minggu, 19 September.

Presiden Jokowi, kata dia, bukan hanya perlu mendengar tapi ikut menyampaikan tanggapan terkait hal polemik TWK ini. Apalagi hal ini berkaitan dengan sopan santun kenegaraan seperti yang pernah disampaikannya beberapa waktu lalu.

"Kalau kemarin presiden bilang, saya menunggu apa yang diputuskan Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) maka kalau katanya ini sopan santun kenegaraan, maka penting berlaku adil bagi kami di Komnas HAM maupun Ombudsman RI karena ini adalah hubungan antar lembaga," tegas Robert.

"Saya kira fatsun ketatatanegaraan perlu diperlihatkan untuk tidak menunjukkan ada pilih kasih, diskriminasi. Terhadap yang mungkin baik untuk pemerintah kita diskusi tapi ketika sesuatu tidak baik, apapun artinya pintu malah tertutup," imbuh dia.

Robert juga menegaskan Presiden Jokowi tidak bisa lepas tangan atas persoalan TWK pegawai KPK yang berujung pemecatan 57 pegawai. Dia mengatakan, rekomendasi dan temuannya diserahkan kepada kepala negara karena sesuai dengan aturan perundangan.

"Kami justru salah kalau rekomendasi kami tidak bermuara ke Bapak Presiden," ujarnya.

Lagipula, secara kelembagaan KPK berada pada rumpun eksekutif sehingga keputusan tertinggi berada di Presiden. Begitu juga dengan permasalahan TWK.

Diberitakan sebelumnya, 57 pegawai dinyatakan tak bisa lagi bekerja di KPK karena mereka tak bisa menjadi ASN sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 per akhir September mendatang. Para pegawai tersebut di antaranya penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, penyelidik KPK Harun Al-Rasyid, serta puluhan nama lainnya.

Komisi antirasuah berdalih ketidakbisaan mereka menjadi ASN bukan karena aturan perundangan seperti Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 melainkan karena hasil asesmen mereka.

Tak hanya itu, KPK juga memastikan para pegawai telah diberikan kesempatan yang sama meski mereka telah melewati batas usia atau pernah berhenti menjadi ASN.

Hanya saja, keputusan itu menimbulkan polemik mengingat ditemukannya sejumlah maladministrasi dan penyalahgunaan wewenang dalam proses TWK oleh Ombudsman RI. Tak hanya itu, Komnas HAM juga menemukan adanya pelanggaran 11 hak para pegawai.

Sehingga, hal ini menjadi polemik. Apalagi, KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) tidak mau menindaklanjuti tindakan korektif maupun rekomendasi yang masing-masing dikeluarkan oleh Ombudsman RI dan Komnas HAM.