Bagikan:

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyoroti dipilihnya 30 September untuk memberhentikan Novel Baswedan dan 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam mengatakan, pemilihan tanggal tersebut bisa menimbulkan stigma bagi puluhan pegawai dan dapat menimbulkan imajinasi tertentu dari publik.

Penyebabnya, 30 September selama ini bertepatan dengan peringatan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia atau G30S/PKI.

"Kalau kami punya kesempatan lagi, kami akan tanya kenapa memilih 30 September. Padahal dikatakan sebelumnya sampai November," ungkap Anam dalam diskusi daring yang ditayangkan di YouTube Sahabat ICW, Minggu, 19 September.

"Ini ada apa, kalau tadi bangun imajinasi soal masa lalu Republik Indonesia itu kan ada stigma soal 1965 soal PKI, soal komunisme. Apakah memang pemilihan tanggal 30 Sepetmeber itu mengintrodusir satu stigma berikutnya? Kalau ini memang mengintrodusir satu stigma berikutnya, betapa berbahayanya negara ini," imbuhnya.

Jika dugaan pemecatan sengaja dilakukan pada 30 September untuk membangun stigma, maka ini adalah bahaya tersendiri bagi bangsa dan negara. Sehingga, pembentukan anggapan semacam ini harusnya dilawan.

"Kalau mesin stigma tidak kita perangi bersama, negara ini dalam kondisi bahaya level paling tinggi. Jadi, janganlah pakai simbol-simbol mengintrodusir stigma," tegas Anam.

Lagipula, stigma yang selama ini disangkutkan kepada puluhan pegawai akibat tak lolos TWK yaitu mereka antipancasila juga dianggapnya hanya isapan jempol semata. Mengingat, Novel Baswedan dkk adalah mereka yang sebenarnya pernah bekerja di lembaga pemerintahan termasuk menjadi polisi maupun ASN.

Sehingga, adanya stigma yang terbentuk dianggap Komnas HAM sebagai bentuk keanehan dan perlu dibuktikan dengan membuka jawaban para pegawai saat melaksanakan tes sebagai syarat alih status pegawai tersebut.

"Artinya, tantangannya buka dong, buka jawabannya. Ayo tunjukkan itu kan pertanyaan-pertanyaan ideologi kepatuhan atas hukum dan sebagainya," ujar Anam.

Diberitakan sebelumnya, 57 pegawai yang dinyatakan tak lulus TWK akan dipecat pada akhir September mendatang. Keputusan ini diambil karena mereka tak bisa menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai mandat UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.

KPK berdalih ketidakbisaan mereka menjadi ASN bukan karena aturan perundangan seperti Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021 melainkan karena hasil asesmen mereka.

Komisi antirasuah juga memastikan para pegawai telah diberikan kesempatan yang sama meski mereka telah melewati batas usia atau pernah berhenti menjadi ASN sebelumnya.

Adapun pegawai yang dinyatakan tak bisa lagi bekerja di KPK tersebut di antaranya penyidik senior KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo, penyelidik KPK Harun Al-Rasyid, serta puluhan nama lainnya.