Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta bersikap terkait polemik Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berujung pada pemecatan Novel Baswedan dan 56 pegawai lainnya.

Desakan tersebut muncul dari berbagai pihak serta berbagai cara. Ada yang melakukan aksi unjuk rasa hingga mengirim surat lewat ojek online maupun surat elektronik.

Melalui surat elektronik juga pengantaran surat secara langsung oleh ojek online, Indonesia Corruption Watch (ICW) menyinggung situasi pemberantasan korupsi di Tanah Air terutama setelah pemecatan Novel Baswedan dkk yang dipercepat dari jadwal seharusnya.

Surat tertanda Koordinator ICW Adnan Topan Husada itu awalnya menyinggung merosotnya kepercayaan publik terhadap KPK. Kemerosotan ini, menyebabkan upaya pemberantasan korupsi berjalan tidak pasti dan mengalami kemunduran.

Kemunduran dan ketidakpastian dalam upaya pemberantasan korupsi ini, kata dia, dibuktikan dengan memburuknya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020.

Lembaga Transparency International Indonesia (TII) menyebut IPK Indonesia berada di skor 37 dengan ranking 102. Skor tersebut turun dari tahun sebelumnya.

Hanya saja, kemorosotan ini disebut ICW merupakan tanggung jawab dari Presiden Jokowi. Eks Gubernur DKI Jakarta tersebut dianggap gagal bersikap keras pada pihak yang mengganggu pemberantasan tindak pidana korupsi.

"Kami mengamati, melihat dan mengevaluasi bahwa gonjang-ganjing KPK dan pemberantasan korupsi di Indonesia terjadi karena Bapak Presiden gagal untuk bersikap tegas dan keras terhadap siapapun yang menganggu upaya pemberantasan korupsi," kata Adnan dalam surat yang dikutip pada Selasa, 28 September.

Tak hanya gagal, Jokowi juga dianggap membuka upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK yang terjadi pada 2019 lalu. "Selain itu, persoalan pemilihan Pimpinan KPK yang kontroversial tidak bisa dilepaskan dari peran serta dan tanggung jawab Bapak Presiden RI," tegasnya.

Presiden Jokowi juga dinilai lari tanggung jawabnya untuk menyelesaikan polemik Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai KPK. Menurutnya, sikap diam yang ditunjukkan Jokowi sama saja telah menyetujui pemecatan yang didasari atas kesewenangan para pimpinan komisi antirasuah.

Sebelum menutup suratnya, Adnan kemudian mengingatkan Presiden Jokowi jika ia memiliki tanggung jawab yang sangat besar. "Pemberantasan korupsi yang serius dan sungguh-sungguh adalah bagian dari tanggung jawab itu," ujarnya.

Dia juga menyinggung keberhasilan negara untuk melawan korupsi juga didasari dari para pemimpinnya. Sehingga, introspeksi harusnya dapat dilakukan Presiden Jokowi dalam menjalankan tanggung jawabnya.

"Bangsa ini patut menyesal, Indonesia pernah lebih baik dalam memberantas korupsi namun tidak untuk hari ini," kata Adnan menutup surat itu.

Aksi meminta Presiden Jokowi tidak hanya diam terkait polemik TWK ini juga disuarakan oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) pada Senin, 27 September kemarin.

Massa aksi dari berbagai universitas turun di Gedung Merah Putih KPK setelah ultimatum mereka agar Novel Baswedan dkk diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam waktu 3x24 jam tak digubris Presiden Jokowi. Nantinya, mereka akan menggelar aksi pada 30 September jika Jokowi masih terus bergeming.

Sebenarnya, Presiden Jokowi sudah angkat bicara perihal Asesmen TWK sebagai syarat alih status pegawai tersebut. Dia mengatakan pertanggungjawaban terkait TWK yang menggagalkan puluhan pegawai KPK menjadi ASN bukan berada di tangannya tapi di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (Kemenpan-RB). Sehingga, ia meminta agar dirinya tak ditarik ke polemik tersebut.

"Jangan apa-apa ditarik ke Presiden. Ini adalah sopan santun ketatanegaraan. Saya harus hormati proses hukum yang sedang berjalan," ungkapnya beberapa waktu lalu.

Hal senada juga disampaikan oleh Juru Bicara Presiden, Fadjroel Rachman. Ia mengatakan, Presiden tak mau ikut campur dalam polemik TWK itu karena komisi antirasuah adalah lembaga independen.

"Walaupun dia dalam rumpun eksekutif tapi seperti lembaga yang lain misalnya Komnas HAM, KPU, tapi mereka lembaga otonom dan berhak melaksanakan aktivitasnya secara undang-undang," tegas Fadjroel kepada wartawan.

"Jadi Presiden, beliau mengatakan, saya menghormati kesopanan dalam ketatanegaraan. Jadi beliau menghormati putusan yg diambil oleh MK maupun oleh MA," pungkasnya.