Bagikan:

JAKARTA - Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, berdalih menemukan batu permata di kebun saat bekerja di Sidney, Australia. Permata itu disebut dijual di Singapura.

Dalih itu disampaikan saat diperiksa sebagai terdakwa di kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Saudara peroleh batu permata sejak kapan Pak?" tanya jaksa dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 26 Agustus.

"Ketika saya menemukannya di.., ketika saya bekerja di Australia," jawab Gazalba.

"Ketika kerja di Australia saudara punya batu permata?" tanya jaksa.

"Saya menemukan Pak," jawab Gazalba.

Mendengar keterangan itu, jaksa mencecar Gazalba, terutama mengenai kapan Hakim Agung nonaktif itu bekerja di Australia.

"Kapan saudara bekerja di Australia Pak?" cecar jaksa.

"Udah lama Pak, sekitar kalau saya tidak salah tahun 1993 Pak," jawab Gazalba.

Gazalba menerangkan dirinya sempat bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan.

"Kemudian, tadi Saudara mengatakan pernah menemukan permata. Saudara temukan di mana waktu itu?" tanya jaksa.

"Waktu saya bekerja di perkebunan Pak," jawab Gazalba.

"Iya, ditemukan di mana?" tanya jaksa.

"Di kebun Pak," jawab Gazalba.

Gazalba juga menyampaikan permata itu telah dijual di Singapura harga 75 ribu dolar Singapura. Hasil penjualannya disebut dipinjamkan ke temannya.

"Saya menemukan batu permata itu ketika saya berada di Australia tahun 1993, lalu kemudian setelah itu saya pulang ke Jakarta. Lalu, saya simpan-simpan setelah itu kemudian saya ke Singapura, lalu kemudian di Singapura saya jual lalu kemudian saya diberi mata uang dolar Singapura dan dolar Amerika," kata Gazalba.

"Saudara kan 2017 diangkat menjadi Hakim Agung ya, ada nggak dilaporkan ke LHKPN itu?" tanya jaksa.

"Akan saya laporkan nanti Pak," jawab Gazalba.

"Yang hasil penjualan batu permata?" tanya jaksa.

"Itu sekitar 75 ribu dolar Singapura Pak, kalau saya tidak salah. Saya lupa," kata Gazalba.

Gazalba tersandung kasus dugaan korupsi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Dalam kasus itu, Gazalba didakwa menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan total nilai Rp62,89 miliar.

Dugaan penerimaan itu meliputi gratifikasi senilai Rp650 juta serta TPPU yang terdiri atas 18.000 dolar Singapura (Rp216,98 juta), Rp37 miliar, 1,13 juta dolar Singapura (Rp13,59 miliar), 181.100 dolar Amerika Serikat (Rp2 miliar), dan Rp9,43 miliar dalam kurun waktu 2020–2022.

Gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba terkait dengan pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait dengan pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada tahun 2017.

Uang gratifikasi diduga diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyadh selaku penghubung antara Jawahirul Fuad dan Gazalba pada tahun 2022 setelah pengucapan putusan perkara.

Gazalba menerima uang sebesar Rp200 juta dan Riyadh menerima Rp450 juta sehingga total gratifikasi senilai Rp650 juta

Selanjutnya uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU, antara lain, bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh, untuk membeli satu unit kendaraan Toyota New Alphard 2.5 G A/T senilai Rp1,08 miliar pada bulan Maret 2020.

Selain itu, Gazalba juga didakwa menyamarkan transaksi pembelian rumah di Citra Grand Cibubur senilai Rp7,71 miliar pada bulan Desember 2021 dengan hanya melaporkan pembelian sebesar Rp3,53 miliar dan melakukan pemecahan pembayaran.