Di Proyek Mangkrak Hambalang, Demokrat Kubu KLB Bacakan Dosa-dosa SBY
Susilo Bambang Yudhoyono (Foto: Twitter @SBYudhoyono)

Bagikan:

JAKARTA - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat kubu Moeldoko menggelar jumpa pers di pusat olahraga Hambalang, Bogor, Jawa Barat, Kamis 25 Maret. Proyek mangkrak di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ditempat bersejarah itu, Partai Demokrat versi KLB Sibolangit, Deli Serdang, Sumut, membacakan kesewenang-wenangan yang dilakukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam mengelola partai berlogo bintang mercy tersebut. 

"Secara historis, telah terjadi penggelapan fakta atau pemutarbalikan sejarah pendirian," ujar Juru Bicara Partai Demokrat kubu Moeldoko, Muhammad Rahmad. 

Rahmad menjelaskan, bahwa Partai Demokrat didirikan tahun 2001 oleh 99 orang dan tidak ada nama SBY didalam akta pendirian. Namun di dalam Mukadimah Anggaran Dasar Partai Demokrat tahun 2020, pendiri Partai Demokrat disebut hanya 2 orang dan SBY disebut sebagai salah satu pendiri partai. 

"Hal ini menimbulkan keresahan luar biasa bagi penggagas/pendiri/ deklarator partai yang masih hidup diantara 99 orang tersebut," jelas Rahmad.

Secara sosiologis, lanjutnya, terjadi penindasan kepada anggota partai di akar rumput termasuk yang dialami oleh pengurus partai di propinsi dan Kabupaten/Kota, khususnya sejak kepemimpinan SBY yang kemudian dilanjutkan AHY sebagai ketua umum partai. 

"Hak-hak anggota dan pengurus dipangkas dan dibatasi dengan berbagai alasan. Pungutan kepada kader dilakukan disemua lapisan, sementara penghargaan atau rewards kepada kader nyaris tidak pernah diberikan," ungkap Rahmad.

Hal tersebut, kata Rahmad, diperparah dengan adanya mahar politik dalam pilkada, sehingga banyak kader partai yang tidak dapat maju pilkada lantaran tidak mampu membayar mahar ke DPP. Disamping itu, kondisi pengelolaan partai oleh SBY-AHY yang sentralistik dan otoriter, semakin memperdalam jurang pemisah antara SBY-AHY dengan kader-kader di daerah.

"Secara filosofis, ada dorongan yang sangat kuat untuk memperbaiki demokrasi dan pengelolaan kepartaian didalam tubuh Partai Demokrat. Dorongan tersebut memuncak ketika para pendiri, deklarator dan pengurus daerah, cabang dan anggota partai mengetahui isi AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana yang diamanatkan Pancasila, UUD 1945 dan UU Partai Politik Nomor 2 Tahun 2008 dan perubahannya di UU Partai Politik Nomor 2 Tahun 2011," ungkap Rahmad.

 

Dia menuturkan, keberadaan AD/ART Tahun 2020 mempertegas kesimpulan bahwa ada upaya SBY untuk membentuk dinasti dan oligarki dalam Partai Demokrat melalui AD/ART yang memberi kewenangan absolut ke dalam satu tangan SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai.

Secara Yuridis, AD/ART Partai Politik adalah peraturan dasar partai politik yang perubahannya dibuat, dibahas dan disahkan atau dengan kata lain “disepakati” dalam Kongres atau Kongres Luar Biasa. Demikian ketentuan Pasal 5 ayat (2) UU Partai Politik No. 2 Tahun 2011. 

"Namun, berdasarkan pengakuan saksi saksi fakta, bahwa AD ART Partai Demokrat Tahun 2020 ternyata dibuat, dibahas dan disahkan di luar Kongres," sebutnya.

Kemudian, Pasal 15 UU Partai politik No. 2 Tahun 2008 yang tidak dirubah dalam UU No. 2 Tahun 2011 menyebutkan bahwa kedaulatan partai politik berada di tangan anggota. Namun setelah melihat isi AD ART Tahun 2020, kedaulatan partai berada ditangan penguasa tunggal, yakni SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi.  

"Yang sangat parah adalah proses pembentukan AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 tidak dibahas dan disahkan dalam Kongres sebagai forum tertinggi pengambilan keputusan, sehingga proses pembentukan AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 tersebut, sesungguhnya tidak memenuhi syarat formal, sehingga secara yuridis, AD ART tahun 2020 itu cacat formal," beber Rahmad.

KLB Sibolangit, tambah Rahmad, juga menemukan setidaknya ada 14 (empat belas) pasal didalam AD ART Partai Demokrat tahun 2020 yang melanggar ketentuan UU Partai Politik. Antara lain, kekuasaan tertinggi berada ditangan SBY sebagai ketua Majelis Tinggi, Calon Ketua umum harus persetujuan SBY sebagai Ketua Ketua Majelis Tinggi, AD/ART yang akan diajukan dan ditetapkan di Kongres atau KLB harus dirancang oleh Majelis Tinggi.

Selain itu, kewenangan Mahkamah Partai sebagai peradilan internal menjadi subordinasi dari AHY sebagai Ketua Umum dan SBY sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai. 

"Ketentuan yang dibuat dalam AD/ART tahun 2020 tersebut telah mengamputasi kewenangan anggota partai dan Mahkamah Partai. Partai Demokrat dalam menyelesaikan Perselisihan Internal Partai tidak melaksanakan ketentuan Undang-Undang Partai Politik No 2 Tahun 2011, Pasal 32-33, karena menghilangkan fungsi Mahkamah Partai sebagaimana mestinya," ucap Rahmad.

Menurut Rahmad, pelanggaran-Pelanggaran yang terjadi dalam materi dan/atau muatan pasal-pasal dalam AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 tersebut sangat fatal, karena menyangkut kedaulatan anggota partai politik dan forum kekuasan tertinggi pengambilan keputusan. Serta Mahkamah Partai yang merupakan jiwa dari UU Parpol No. 2 tahun 2011. 

"Karena itu, AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 tidak memenuhi syarat objektif sehingga harus dinyatakan batal demi hukum karena bertentangan dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945, Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Parpol No. 2 tahun 2008 dan Pasal 5 serta pasal 32-33 UU Parpol No. 2 Tahun 2011," kata Rahmad menandaskan.