JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencecar enam saksi terkait kasus korupsi pengadaan tanah di Munjul, Kelurahan Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur.
Enam orang ini terdiri dari tiga saksi yang terjadwal pada Rabu, 10 Maret dan tiga saksi tambahan yang terdiri dari pegawai Perumda Sarana Jaya.
Mereka yang diperiksa adalah Fransiska Sri Kustini CB atau Sr. Franka CB yang merupakan Bendahara Ekonom Kongregasi Suster Suster CB Provinsi Indonesia; Manajer Unit Pelayanan Pengadaan Perumda Pembangunan Sarama Jaya Tahun 2017 sampai Oktober 2020 Rachmat Taufik; dan broker calo tanah, Minan bin Mamad.
Sementara tiga saksi tambahan adalah Indra, Wahyu, dan Yadhi yang merupakan pegawai Perumda Sarana Jaya.
"Para saksi didalami pengetahuannya, di antaranya terkait dengan kegiatan usaha dari Perumda Sarana Jaya dalam pembelian sejumlah aset tanah," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Rabu, 10 Maret.
Sebenarnya, KPK juga akan melakukan pemeriksaan terhadap tiga saksi lainnya yaitu Manager Sub Divisi Akuntansi dan Anggaran Sarana Jaya Asep Firdaus Risnandar; serta Junior Manajer Divisi Pertanahan Perumda Pembangunan Sarana Jaya I Gede Aldi Pradana; dan Senior Manajer Divisi Usaha Perumda Pembangunan Sarana Jaya Tahun 2019 sampai 2020 Slamet Riyanto. Namun, mereka telah menyampaikan ketidakhadirannya pada penyidik.
"Tidak hadir dan mengkonfirmasi untuk dilakukan penjadwalan ulang," ungkap Ali.
Sementara usai diperiksa, kuasa hukum Frasiska yaitu Dwi Rudatiyani, menyatakan salah satu tanah yang bermasalah dengan Perumda Sarana Jaya adalah milik Kongregasi Suster CB Provinsi Indonesia. Dia mengatakan, organisasi ini tidak pernah melakukan penjualan tanah di Jalan Asri RT 002/03, Pondok Ranggon kepada PD Pembangunan Sarana Jaya.
Kongregasi ini, sambung Dwi, melakukan penjualan tanah kepada seorang pihak swasta di Yogyakarta. Adapun tanah yang dijual seluas 41.921 meter persegi seharga Rp104 miliar yang pembayarannya harus rampung pada Agustus 2019.
"Sementara kami baru terima dua kali, Rp5 miliar ditransfer pada 25 Maret 2019 dan Rp5 miliar pada 6 Mei 2019," ungkap Dwi di Gedung Merah Putih KPK.
Dengan berhentinya pembayaran ini, maka, kongregasi memutuskan untuk membatalkan perjanjian jual beli yang sudah disepakati sejak 31 Oktober 2019. Pembatalan serupa juga diajukan lagi ke BPJB dengan pengembalian DP Rp10 miliar pada Mei 2020 lalu.
Hanya saja, selaku pembeli, pihak swasta tersebut malah menggugat Kongregasi Suster ini ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur. "Padahal kami korban tapi (gugatan, red) sudah dicabut per 4 Maret 2020," tegasnya.
Selanjutnya, Dwi menyebut pihak swasta yang bernama Anja Runtuwene ini menjual tanah ke PD Pembangunan Sarana Jaya. Namun, Kongregasi Suster sebagai pemilik tanah tidak tahu menahu perihal aktivitas jual-beli tersebut.
"Kami tidak tahu (dijual lagi, red), kami baru tahu saat ada panggilan dari Bareskrim pada akhir Juli 2020 bahwa tanah yang belum dilunasi itu dijual ke PD Sarana Jaya," katanya.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, KPK membenarkan pihaknya tengah melakukan penyidikan dugaan kasus korupsi pembelian tanah untuk Program DP Rp0 Pemprov DKI oleh BUMD DKI Jakarta.
Setelah itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang telah mendengar kabar ini sejak Jumat, 5 Maret lalu langsung menonaktifkan Yoory Pinontoan dari jabatan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya.
"Pak Gubernur saat itu langsung mengambil keputusan untuk menon-aktifkan yang bersangkutan. Atas kasus tersebut, Yoory akan mengikuti proses hukum dengan menganut asas praduga tak bersalah," kata Plt Kepala BP BUMD Provinsi DKI Jakarta, Riyadi.
Terkait keputusan yang diambil Anies, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menyebut pihaknya melakukan hal tersebut untuk memberi kesempatan kepada Yoory Corneles Pinontoan membela diri dalam kasus hukumnya.
Riza ingin menerapkan asas praduga tak bersalah dan memberi kesempatan Yoory mengungkapkan keterangan dengan situasi fakta dan data yang ada. Riza juga menghormati penyelidikan kasus dugaan korupsi yang sedang didalami KPK.