DPR Cecar Pemerintah: Kenapa Mesti 'Anak Tirikan' Vaksin COVID-19 Buatan Terawan?
Suasana sidang Komisi IX DPR RI dengan Pemerintah (Foto: Tangkap Layar Youtube DPR RI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi IX DPR RI mencecar pemerintah dalam rapat kerja hari ini. DPR menganggap badan pemerintah seperti Kementerian Kesehatan, BPOM dan Kemenristek/BRIN memberi perlakuan berbeda terhadap dua jenis vaksin dalam negeri.

Kedua vaksin tersebut adalah vaksin Merah Putih yang dikembangkan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan vaksin Nusantara yang dikembangkan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Anggota Komisi IX dari Fraksi Partai Golkar, Dewi Asmara mempertanyakan pemerintah yang terkesan lamban dalam merespons kebutuhan pengembangan vaksin Nusantara.

Saat ini, Terawan masih menunggu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memberi izin pelaksanaan uji klinik fase II vaksin Nusantara. Sementara, vaksin Merah Putih telah mendapat penjadwalan pengembangan vaksin hingga tahun 2022.

"Dalam paparan tiga badan pemerintah kalau tadi (vaksin Nusantara) tidak dipersoalkan, seakan-akan kok menghindar. Sudah jelas agendanya adalah vaksin nusantara, tapi yang dipaparkan vaksin Merah Putih. itujuga penting, tapi kan (vaksin Merah Putih) enggak ada masalah," kata Dewi di Gedung DPR RI, Rabu, 10 Maret.

Padahal, Dewi menyebut vaksin Nusantara masuk dalam daftar pengembangan vaksin internasional yang ditetapkan WHO. Dalam hal ini, pemerintah juga telah menganggarkan Rp29 miliar untuk pengembangan vaksin Nusantara di bawah naungan Balitbangkes Kemenkes.

Dewi heran mengapa pemerintah terlalu fokus menghadirkan vaksin buatan luar negeri. Padahal, vaksin impor memiliki sistem distribusi yang cukup rumit.

"Kalau untuk sekarang, kita setuju yang luar negeri (datangnya) cepat. Tetapi, kita juga harus mempercepat vaksin Merah Putih dan Nusantara ini. Ini ada apa?" cecar Dewi.

"Pergantian Menteri (Kesehatan) bukan berarti kemudian yang lalu jadi yang lalu, yang sekarang yang sekarang. Tidak begitu kerja negara kita. Pimpinan Komisi IX juga berganti. Tidak berarti program yang lalu kemudian tidak berjalan," lanjutnya.

Menjawab hal ini, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono menuturkan persetujuan izin pelaksanaan uji klinik fase II vaksin Nusantara bisa dilakukan jika BPOM telah mengevaluasi uji klinik fase I.

"Apakah riset ini bisa diteruska pada fase dua, tentu bisa diteruskan apabila evaluasi uji fase satu sudah disetujui oleh BPOM. Sehingga, kita dapat melakukan standing point untuk pembiayaan secara legal dan kredibilitas yang independen. Kami akan terus mengawal dan mendukung ini secara legal dan baik," jawabnya.