KPK Dalami Dugaan Pengadaan Tanah Munjul untuk Rumah DP Rp0 Program Anies Baswedan
Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri (Foto: Humas KPK)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami alasan Perumda Pembangunan Sarana Jaya membeli tanah di Munjul, Pondok Ranggon, Jakarta.

Diduga tanah tersebut dibeli untuk program rumah down payment (DP) Rp0 yang jadi program unggulan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. KPK masih mengkonfirmasi dugaan itu pada sejumlah saksi. 

"Kami (sedang, red) mengonfirmasi kepada saksi-saksi terkait hal tersebut. Sedang didalami lebih jauh," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Kamis, 12 Agustus.

Menurutnya, pendalaman terhadap peruntukan pembelian tanah yang dilakukan oleh Perumda Pembangunan Saran Jaya itu perlu dilakukan meski fokus utamanya adalah mengusut adanya dugaan korupsi.

"Fokus pada penyidikan perkara tanah di Munjul ini namun tidak lepas dari latar belakang peruntukan perlu digali lebih jauh," tegasnya.

Diberitakan sebelumnya, tim penyidik KPK pada Selasa, 10 Agustus lalu telah memeriksa pelaksana harian (Plh) Badan Pembinaan BUMD periode 2019 Riyadi sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah di Munjul Tahun Anggaran 2019.

Dia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Yoory Corneles yang merupakan mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya.

Pada pemeriksaan tersebut, penyidik mengorek pengetahuan Riyadi tentang mekanisme program rumah DP Rp0.

Dalam kasus ini, komisi antirasuah telah menetapkan empat tersangka dalam kasus ini yaitu Direktur dan Wakil Direktur PT Adonara Propertindo yaitu Tommy Adrian serta Anja Runtuwene, mantan Direktur Utama Perumda Pembangunan Sarana Jaya Yoory Corneles, dan Direktur PT Aldira Berkah Abadi Makmur (ABAM) Rudy Hartono Iskandar.
Selain itu, KPK juga menetapkan PT Adonara Propertindo sebagai tersangka korupsi korporasi.

Dugaan korupsi ini terjadi saat Perumda Pembangunan Sarana Jaya yang merupakan BUMD di bidang properti mencari tanah di wilayah Jakarta untuk dimanfaatkan sebagai unit bisnis maupun bank tanah. Selanjutnya, perusahaan milik daerah ini bekerja sama dengan PT Adonara Propertindo yang juga bergerak di bidang yang sama.

Akibat kasus ini, negara merugi hingga Rp152,5 miliar. Para tersangka diduga menggunakan uang ini untuk membiayai kebutuhan pribadi mereka.