JAKARTA - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. memerintahkan pemerintahannya memperkuat koordinasi keamanan maritim, untuk menghadapi "serangkaian tantangan serius" terhadap integritas wilayah dan perdamaian, seiring dengan meningkatnya perselisihan dengan China.
Perintah tersebut, yang ditandatangani pada Hari Senin dan dipublikasikan pada Hari Minggu, tidak menyebut China tetapi mengikuti serangkaian konfrontasi maritim bilateral dan saling tuding mengenai wilayah sengketa di Laut China Selatan.
Ketegangan terbaru terjadi akhir pekan lalu, ketika China menggunakan meriam air untuk mengganggu misi pasokan Filipina ke Second Thomas Shoal bagi tentara yang menjaga kapal perang yang sengaja dikandaskan di terumbu karang tersebut 25 tahun lalu.
"Meskipun terdapat upaya untuk meningkatkan stabilitas dan keamanan di wilayah maritim kami, Filipina terus menghadapi serangkaian tantangan serius yang mengancam integritas wilayah, tetapi juga keberadaan damai warga Filipina," kata Presiden Marcos dalam perintah tersebut, dilansir dari Reuters 1 April.
Sebelumnya, Presiden Marcos Jr. pada Hari Kamis berjanji untuk menerapkan tindakan balasan terhadap "serangan ilegal, koersif, agresif dan berbahaya" yang dilakukan oleh penjaga pantai Tiongkok.
Perintahnya memperluas dan mengatur ulang dewan maritim pemerintah, menambahkan penasihat keamanan nasional, jaksa agung, kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional dan satuan tugas Laut China Selatan.
Perintah tersebut tampaknya memperluas peran militer dengan memasukkan Angkatan Bersenjata Filipina, bukan hanya angkatan laut, di antara lembaga-lembaga yang mendukung dewan tersebut.
Dewan Maritim Nasional yang berganti nama akan menjadi badan pusat yang merumuskan strategi guna memastikan kerangka kerja yang "terpadu, terkoordinasi dan efektif" untuk keamanan maritim dan kesadaran domain Filipina.
BACA JUGA:
Presiden Marcos Jr. menambah jumlah lembaga yang mendukung dewan tersebut menjadi 13 dari sembilan, termasuk badan antariksa dan Institut Urusan Maritim dan Hukum Laut Universitas Filipina.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Tiongkok tidak menanggapi permintaan komentar Reuters pada Hari Minggu.
Diketahui, Beijing mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, yang merupakan jalur perdagangan kapal tahunan senilai lebih dari 3 triliun dolar AS. Klaim Tiongkok tumpang tindih dengan klaim Filipina, Vietnam, Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Pengadilan Arbitrase Permanen pada tahun 2016 mengatakan klaim China tidak memiliki dasar hukum.