Ferdinand Hutahaean Dorong KPK Dibubarkan, Prof Indriyanto: Dia Benar-benar Tendensius, di Luar Logika
Guru Besar Universitas Krisnadwipayana Prof Indriyanto Seno Adji (ANTARA)

Bagikan:

JAKARTA - Guru Besar Universitas Krisnadwipayana Prof Indriyanto Seno Adji benar-benar heran dengan kelakuan Ferdinand Hutahaean. Ferdinand, eks politikus Demokrat dinilai pakar hukum pidana ini mengada-ada ketika berbicara mendorong pembubaran KPK. 

Ferdinand Hutahaean yang banyak berbicara lewat media sosial menyinggung kasus korupsi eks Direktur Utama PT Pelindo II Richard Joost Lino atau RJ Lino belum juga juga masuk ke pengadilan.

Padahal, kasus ini sudah digarap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama 5 tahun terhitung Desember 2015 lalu. RJ Lino menyandang status tersangka kasus pengadaan tiga unit quay container crane (QCC).

Terkait kondisi ini, Ferdinand Hutahaean melayangkan kritik keras. Dia bahkan mengusulkan KPK dibubarkan saja. Tapi Prof Indriyanto balik bertanya pola pikir Ferdinand Hutahaean.

“Lah, apa kaitannya antara wacana SP3 dengan pembubaran KPK? Alasan Ferdinand benar-benar tendensius dan di luar logika yang tidak mendasar sekali,” kata Prof Indriyanto kepada VOI, Kamis, 4 Maret dini hari. 

Mantan pelaksana tugas Wakil Ketua KPK pada tahun 2015 ini berbicara soal kewenangan KPK menghentikan penyidikan perkara (SP3) yang diatur Undang-Undang.

“Bahkan regulasi kewenangan KPK menurut UU KPK yang baru, memang memiliki kewenangan lakukan SP3 tersebut. Tapi kalau KPK ragu melaksanakan hal tersebut, pihak yang dirugikan dapat ajukan praperadilan untuk menentukan keabsahan tidaknya penetapan tersangka. Misalnya RJL yang sudah 5 tahun sudah tersangka, sebaiknya RJ Lino ajukan parrperadilan untuk menentukan keabsahan tidaknya penetapan sebagai tersangka,”ujar Prof Indriyanto.

KPK Berencana SP3 Sejumlah Kasus

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkap kemungkinan adanya pemberhentian penyidikan alias SP3 dugaan korupsi pada tahun ini. 

Hal ini didasari Pasal 40 Undang-undang  Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang menyebut lembaga antikorupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. 

"Kemungkinan ada (yang di-SP3, red) karena setelah kami petakan ada beberapa case yang masih ingat ketika ditetapkan tersangka di tahun 2016 sampai sekarang belum naik juga. Apa alasannya, nanti kita akan minta disisir. Perkara apa, hambatannya gimana, dan apakah dimungkinkan dilanjutkan atau tidak," kata Alex kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 2 Maret.

KPK, sambungnya, sudah punya SOP untuk menghentikan penyidikan suatu perkara yaitu penghentian ini dilakukan setelah lebih dari dua tahun tidak lagi ditemukan bukti yang cukup atau tersangka tidak layak diajukan ke persidangan (unfit to stand trial). Selanjutnya, KPK akan meminta pendapat ahli sebagai pendapat kedua (second opinion). 

"Pendapat ahli mengatakan ini sudah enggak ada kemungkinan untuk dinaikkan perkaranya atau misalnya not fit to trial, tidak cakap untuk diajukan ke persidangan, ya, ngapain juga kita gantung terus," jelasnya.

Kemudian, sesuai ketentuan, KPK nantinya harus terbuka kepada publik perihal penghentian penyidikan atau penuntutan suatu kasus. 

Selain itu, penghentian penyidikan dan penuntutan dapat dicabut oleh pimpinan KPK bila di kemudian hari ditemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan, atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan.

"Yang jelas kami akan transparan. Jadi tidak semata-mata karena keputusan pimpinan. Kami akan ekspose, gelar perkara," tegasnya.