KPK: Kepala Daerah Korupsi karena Kekuasaan Tinggi Tapi Rendah Pengawasan
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kasus Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah menambah deretan panjang kepala daerah yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.

Tercatat terdapat 127 kepala daerah baik tingkat I maupun tingkat II yang  diproses hukum di KPK sejak 2004 hingga saat ini. Jumlah itu belum termasuk wakil kepala daerah yang diproses hukum oleh KPK.

Selain sistem politik di Indonesia yang masih berbiaya tinggi, banyaknya kepala daerah yang terjerumus juga karena ada kesempatan dan rendahnya integritas. 

"Dari berbagai referensi tentang korupsi, salah satunya mengatakan bahwa monopoli ditambah dengan tingginya kekuasaan yang dimiliki seseorang tanpa adanya pengawasan yang memadai dari aparat pengawas, akan menyebabkan dorongan melakukan tindak pidana korupsi," kata Plt Jubir KPK bidang Pencegahan, Ipi Maryati, Senin, 1 Maret.

Dengan begitu, KPK tak bosan mengingatkan kepala daerah selalu memegang teguh integritas dan mengedepankan prinsip-prinsip good governance. KPK melalui program-program pencegahan, koordinasi dan supervisi, telah mendampingi dan terus mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.

"Melalui upaya pencegahan, salah satunya dilakukan dengan membuat kajian sistem, KPK berupaya menutup celah dan potensi korupsi dengan memberikan rekomendasi perbaikan agar tidak ada peluang atau kesempatan seseorang untuk bisa melakukan korupsi," kata Ipi.

 

Sedangkan, melalui upaya pendidikan, KPK mendorong pembentukan budaya antikorupsi di masyarakat, termasuk menjaga integritas penyelenggara negara dengan menumbuhkan kesadaran agar tidak ingin melakukan korupsi. 

"Dan melalui upaya penindakan yang tegas, KPK berharap akan membuat penyelenggara negara takut sehingga tidak mau korupsi," tegas Ipi.

Berdasarkan pengalaman KPK dalam menangani tindak pidana korupsi, setidaknya terdapat lima modus korupsi kepala daerah, yaitu intervensi dalam kegiatan belanja daerah mulai dari pengadaan barang dan Jasa; penempatan dan pengelolaan kas daerah; pelaksanaan hibah dan bantuan sosial (bansos); pengelolaan aset; hingga penempatan modal pemda di BUMD atau pihak ketiga. 

Kemudian, intervensi dalam penerimaan daerah mulai dari pajak daerah dan retribusi; pendapatan daerah dari pusat; sampai kerja sama dengan pihak lain. Modus lainnya intervensi dalam perizinan mulai dari pemberian rekomendasi; penerbitan perizinan; sampai pemerasan. 

Selain itu,  benturan kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa; rotasi, mutasi, promosi, dan rangkap jabatan; serta Penyalahgunaan wewenang dalam proses lelang jabatan.