Bagikan:

JAKARTA - Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan perusahaannya terus mengalami kerugian selama mengoperasikan pesawat jenis Bombardier CRJ1000. Kerugiannya bahkan jauh lebih besar dari harga sewa pesawat tersebut.

"Memang tidak dapat dipungkiri selama 7 tahun operasikan ini setiap tahun itu secara kata-kata alami kerugian penggunaan pesawat lebih dari 30 juta dolar per tahun atau Rp418 miliar (kurs rupiah Rp13.955 per dolar AS). Sementara sewa pesawatnya sendiri di angka 27 juta dolar," katanya, dalam konferensi pers secara virtual, Rabu, 10 Februari.

Lebih lanjut, Irfan menjelaskan, terminasi kontrak secara sepihak itu sudah dilakukan sejak 1 Februari 2021 kemarin. Dengan langkah itu, kata dia, manajemen Garuda Indonesia bisa melakukan penghematan kerugian yang ditimbulkan apabila pesawat itu baru dikembalikan pada 2027 mendatang.

"Apabila kita terminasi pada Februari kemarin sampai dengan akhir masa kontraknya, kita saving lebih dari 220 juta dolar AS. Ini upaya kita menghilangkan/kurangi kerugian," jelasnya.

Pesawat CRJ1000, katanya, ini juga tak cocok dengan market Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya terus mengalami kerugian selama pengoperasian pesawat tersebut.

"Kami dari tahun ke tahun mengalami kerugian menggunakan pesawat ini, ditambah dengan kondisi pandemi ini memaksa kami tidak punya pilihan lain secara profesional untuk menghentikan kontrak ini," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir mengambil langkah tegas dengan meminta manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menghentikan dan mengembalikan 12 pesawat Bombardier CRJ 1.000 yang disewa sejak 2012.

Kata Erick, dasar keputusan ini atas pertimbangan adanya indikasi suap dalam perjanjian tersebut setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Serious Fraud Office (SFO) Inggris mengusut perjanjian ini.

Adapun perjanjian sewa pesawat Bombardier total berjumlah 18 pesawat dan sudah disewa Garuda sebanyak 12 pesawat. Kontrak operating lease antara Garuda dengan Nordic Aviation Capital (NAC) yang ditandatangani pada 2011 lalu dan akan selesai pada tahun 2027.

"Keputusan ini juga mempertimbangkan tata kelola perusahaan yang baik," katanya.

Dalam penyidikan yang dilakukan KPK serta penyelidikan oleh SFO Inggris, terdapat adanya indikasi pidana suap dari pihak pabrikan kepada oknum pimpinan Garuda Indonesia saat proses pengadaan pesawat pada 2011 lalu.

Manajemen Garuda Indonesia juga telah menghentikan pengoperasian 12 pesawat bombardier tersebut pada 1 Februari 2021. Di mana sebelumnya perawat-pesawat tersebut melayani rute jarak pendek di wilayah Indonesia Bagian Timur.