Polemik Sewa Pesawat Bombardier, Siapa Nikmati Uang Garuda Indonesia?
Pesawat CRJ 1000 Bombardier Garuda Indonesia (Foto: Istimewa)

Bagikan:

JAKARTA - PT Garuda Indonesia Tbk. terus melakukan pembenahan terhadap kegiatan operasionalnya guna menekan biaya operasional perusahaan. Salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh maskapai plat merah itu adalah dengan mengembalikan 12 dari 18 pesawat CRJ 1000 Bombardier yang disewa perseroan.

Garuda menganggap, upaya ini dapat menghemat kas perusahaan dari pembayaran sewa armada hingga puluhan juta dolar atau setara dengan ratusan miliar rupiah. Masalah muncul lantaran pihak lessor (penyewa pesawat) menolak keputusan sepihak Garuda yang dinilai menyalahi kontrak yang telah disepakati pada masa awal perjanjian.

Untuk diketahui, 12 pesawat yang digunakan airlines berkode GIA itu disewa dengan akad operating lease dari lessor Nordic Aviation Capital (NAC), Denmark. Adapun, 6 armada lainnya didatangkan lewat skema financial lease Export Development Canada atau EDC.

Usut punya usut, pesawat dengan kapasitas 100 orang ini dianggap tidak sesuai dengan karakteristik Indonesia, utamanya pangsa pasar dalam negeri. Alhasil, biaya operasional GIA membengkak akibat tidak berimbangnya pemasukan dan pengeluaran sewa pesawat.

Padahal, Garuda disebut-sebut mengikat 12 pesawat  dari Nordic Aviation Capital selama 12 tahun sejak 2015 hingga 2027. Sedangkan 6 armada yang berasal dari EDC dikontrak 10 tahun hingga 2024.

Dalam aturan, apabila salah satu pihak memutus kerjasama maka pihak tersebut wajib membayar biaya sewa di sisa waktu pemutusan hingga kontra tersebut berakhir. NAC, sebagai pemilik pesawat jelas menolak kebijakan Garuda yang berniat mengembalikan 12 armadanya.

Garuda sendiri sebenarnya sudah mengajukan pembayaran awal dengan skema tertentu, namun NAC menolak dengan pertimbangan tidak sesuai dengan pokok perjanjian.

Kabar ini sampai juga ke telinga Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir. Sebagai bos besar dari perusahaan negara, Erick menduga ada yang tidak beres pada awal penyusunan kontrak kerjasama.

Tidak tanggung-tanggung, Erick mengungkapkan bahwa pihaknya telah mendapatkan beberapa informasi penting dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Serious Fraud Office (SFO) Inggris terkait permainan mata di tubuh Garuda.

“Poin-poin ini akan kami dijadikan landasan,” ujarnya secara virtual, Rabu, 10 Februari.

Sebagai informasi, perusahaan penerbangan berkode saham GIAA itu menyebut telah mengalami kerugian sebesar 30 juta dolar pertahun atau setara dengan Rp418 miliar selama mengoperasikan armada CRJ 1000. Nilai itu belum termasuk dari biaya sewa yang sebesar 27 juta dolar pertahun atau Rp 376 miliar. Ini berarti Garuda harus menanggung lebih dari setengah triliun per 12 bulan untuk menerbangkan pesawat Bombardier.

Perlu diketahui bahwa proses pengadaan armada CRJ 1000 dilakukan perseroan kala dipimpin oleh Emirsyah Satar. Saat itu, sang bos menyebut bahwa pesawat tipe ini mempunyai kelebihan irit bahan bakar sehingga diharapkan dapat membantu menekan biaya operasional.

Adapun, Emirsyah Satar sendiri saat ini tengah tersandung kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin dari Airbus dan Rolls-Royce, serta tindak pidana pencucian uang. Atas perbuatannya tersebut dia dijatuhi vonis 8 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada 8 Mei 2020 lalu.