Tanggapi Benny Rhamdani, Relawan JoMan: Mau Cari Muka Atau Menjilat Terakhir Kekuasaan Jokowi?
Ketua Relawan Jokowi Mania (JoMan) Immanuel Ebenezer atau Noel (Tangakapan layar Realita TV)

Bagikan:

JAKARTA - Relawan Jokowi Mania (JoMan) menanggapi pernyataan Ketua Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani saat bertemu Presiden Joko Widodo di acara relawan yang digelar di Senayan, akhir pekan lalu. 

Ketua Umum (Ketum) Jokowi Mania (JoMan), Immanuel Ebenezer atau Noel, mempertanyakan relawan-relawan Jokowi yang masih berpikir soal efek Pilpres 2019. Padahal, menurutnya, pemerintahan juga akan segera berganti.

"Besok ganti rezim, ganti presiden, mau apa? Saya nggak ngerti orang-orang ini. Lebih pantasnya ini mereka mau nyari muka kali ya atau mau menjilat terakhir kekuasaan Jokowi atau apa, saya nggak ngerti,” ujar Noel, Senin, 28 November. 

Noel menilai, masa kampanye Jokowi sudah selesai. Sehingga tidak perlu lagi tempur di lapangan seperti apa yang diminta Benny ke Jokowi.

"Kan kampanye sudah selesai, masih kayak mau perang-perang, enggak beradab banget sih itu," tegasnya. 

Noel mengaku mengenal sosok Benny. Namun, dia menilai, sebagai seorang pejabat Benny tidak seharusnya berbicara demikian kepada Jokowi karena dapat mengancam demokrasi.  

"Ya itu teman gue akrab, itu Benny Rhamdani Kepala BP2MI. Sebetulnya itu pejabat nggak boleh ngomong begitu, itu bahaya," kata Noel. 

Noel sepakat dengan Benny soal adanya penegakan hukum bagi penyebar kabar bohong atau hoaks terhadap Presiden Jokowi dan pemerintahannya. Tapi, dia tak setuju dengan istilah "tempur di lapangan" apabila penegak hukum tidak berjalan, terlebih itu diucap oleh seorang pejabat. 

"Tidak boleh dengan kata-kata perang atau apa, itu tidak mendidik sekali. Apalagi ini bukan situasi dalam situasi kampanye gitu. Kalau mau bicara tentang penegakan hukum, kita sepakat. Tapi tidak pantas bicara seperti itu ke Presiden, kayak kesannya ini mau perang aja, emang ini kondisi perang apa bangsa ini?," Jelas Noel.

Oleh karena itu, Noel menegaskan, Presiden Jokowi harus dijaga dari relawan-relawan yang bisa menjerumuskan dan menghilangkan kewibawaan sang kepala negara. 

"Ini presiden mesti dijaga jangan sampai presiden yang saya cintai ini malah nanti di masa akhirnya bukan softlanding malah kaya tidak bagus gitu, kita nggak mau," kata Noel. 

"Jadi ya relawan-relawan yang ngejilat dan cari muka Presiden, sudah lah, dijaga saja presidennya, jangan juga dijerumuskan atau juga jangan dipaksa-paksa, ngejilatnya jangan keterlaluan gitu lah," tambahnya.

Sebelumnya, Kepala BP2MI Benny Rhamdani, menjelaskan soal perkataannya yang terekam di sebuah video viral terkait aspirasinya ke Presiden Joko Widodo bahwa relawan akan tempur di lapangan melawan para penyerang dan penghina pemerintah. Menurutnya, langkah itu sebagai ilustrasi apabila penegakan hukum untuk menertibkan kelompok tersebut tidak berjalan. 

"Itu hanya sebagai gambaran, ilustrasi, bahwa kalau penegakan hukum tidak jalan, kegemesan dan kemarahan kita itu bisa dilakukan dengan cara tadi (tempur di lapangan). Masak kita tidak bisa turun ke jalan? Itu hanya pesan saja, tapi yang kita dorong kuncinya penegakan hukum," ujar Benny, Senin, 28 November. 

Meski begitu, Benny menilai, potongan video yang beredar tidak menampilkan pernyataan utuh. Kata dia, penyampaian aspirasi ke Jokowi juga bukan pertemuan tertutup. 

"Jadi itu bukan acara tertutup, tapi saya yakin video itu adalah video yang tidak utuh. Kalau utuh kan harusnya keseluruhan dong, dari mulai pertama sampai selesai kurang lebih 40 menit. Harusnya dimuat secara utuh dan yang menyampaikan aspirasi, pandangan masalah, saran, usul, kepada presiden. Kan tidak hanya saya," kata Benny. 

Menurut Benny, meski pemerintahan Jokowi ada kekurangan, tapi mengkritik jangan sampai kelewatan sehingga kemudian menyerang. Misalnya, kata dia, memfitnah pemerintah, melontarkan ujaran kebencian, mengadu domba suku dan agama, menyebarkan berita bohong, bahkan mencemarkan nama presiden dan ibu negara. 

"Kita menyoroti perjalanan kebangsaan ini. Ini sudah bukan kritik, lihat cara yang mereka lakukan selama ini, upaya untuk mendelegitimasi, menjatuhkan pemerintahan. Selalu dengan pola yang sama, penyebaran kebencian, fitnah, adu domba antarsuku dan agama, berita-berita hoaks bahkan penghinaan dan pencemaran terhadap simbol-simbol negara, presiden, ibu negara," jelas Benny.

Oleh karena itu, Benny menegaskan, agar penyerangan terhadap pemerintah tidak lagi terulang maka perlu penegakan hukum bagi pelaku. Sebab, menurutnya, jika terus dibiarkan maka dendam politik yang tercipta akibat pilpres akan ada lagi di masa berikutnya. 

"Kan terus berulang, ini menjadi mesin mematikan yang terus diproduksi, yang kami menangkap ini tidak lepas dari dendam politik yang diformalin pasca Pilpres 2019," katanya.

"Nggak bolehlah negara ini dengan mimpi 275 juta anak-anak biar lebih maju, dirusak oleh sekelompok orang yang tidak pernah move on kemudian memelihara dendam yang diformalin terus berupaya menjatuhkan pemerintah dengan cara yang sesat," tambah Benny.