Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Riau M. Syahrir kooperatif memenuhi panggilan saat dipanggil penyidik. Dia belum ditahan meski sudah ditetapkan sebagai tersangka.

"KPK memerintahkan saudara MS untuk memenuhi panggilan tim penyidik dan tim akan melakukan penjadwalan pemanggilan," kata Ketua KPK Firli Bahuri kepada wartawan, Jumat, 28 Oktober.

Firli bilang M. Syahrir harus memenuhi panggilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. "Yang bersangkutan agar kooperatif," tegasnya.

Syahrir ditetapkan sebagai tersangka dugaan suap pengurusan dan perpanjangan hak guna usaha di Kanwil BPN Provinsi Riau. Selain Syahrir, KPK juga menetapkan dua tersangka lain yaitu, pemegang saham PT Adimulia Agrolestari, Frank Wijaya dan General Manager PT Adimulia Agrolestari, Sudarso.

Dalam kasus ini, Syahrir diduga kerap melakukan pertemuan dengan Sudarso yang ditunjuk Frank Wijaya mengurusi perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari yang masa berlakunya berakhir pada 2024. Dia juga meminta uang sebesar Rp3,5 miliar dalam bentuk dolar Singapura.

Pemberian ini dibagi sebanyak 40 persen sebagai uang muka dan 60 persen sisanya. Permintaan ini ditujukan untuk mempercepat pengurusan sertifikat.

Permintaan ini diduga disetujui Frank selaku pemegang saham. Untuk uang muka dia memberi uang sebesar Rp1,2 miliar atau 120 ribu dolar Singapura yang berasal dari kas perusahaan.

Penyerahan uang dilaksanakan di rumah dinas Syahrir. Saat pemberian uang, dia meminta Sudarso tidak membawa alat komunikasi apapun.

Setelah uang diterima, Syahrir kemudian memimpin pembahasan permohonan perpanjangan HGU PT Adimulia Agrolestari. Pengurusan ini kemudian berlanjut hingga ke tangan Bupati Kuantan Singingi (Kuansing) nonaktif Andi Putra.

Akibat perbuatannya, Syahrir sebagai penerima suap diduga melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara selaku pemberi, Frank dan Sudarso diduga melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.