Bagikan:

JAKARTA - Presiden AS, Joe Biden, menjadi sorotan setelah kampanyenya bergabung dengan TikTok hanya beberapa bulan setelah melarang stafnya menggunakan aplikasi media sosial tersebut. Langkah ini menuai kritik karena dikhawatirkan membuka pintu bagi pemerintah China untuk memata-matai kampanye presidensialnya.

Seorang ahli keamanan siber mengatakan kepada DailyMail.com bahwa penyerang siber yang disponsori negara berpotensi mencuri data dari kampanye presiden melalui saluran pintu belakang yang dibangun oleh perusahaan induk TikTok.

Meskipun demikian, kampanye Biden belum memberikan rincian tentang bagaimana mereka berencana mencegah perusahaan induk TikTok mengungkapkan informasi pemilih kepada pemerintah China.

Pada Juni 2023, Biden melarang hampir 4 juta pegawai pemerintah federal dari mengunduh aplikasi tersebut di perangkat yang dimiliki pemerintah.

Politikus dari kedua belah pihak mendukung larangan aplikasi tersebut karena kekhawatiran akan keamanan data.

TikTok dimiliki oleh perusahaan asal China, ByteDance, dan undang-undang China mengharuskan perusahaan di negara itu untuk berbagi data pengguna dengan pemerintah.

Ini menjadi salah satu alasan utama larangan pemerintahan Biden terhadap aplikasi tersebut di lembaga federal, dengan beberapa pengecualian untuk penegakan hukum dan kepentingan keamanan nasional.

Selain itu, FBI dan Federal Communications Commission (FCC) telah memperingatkan bahwa data pengguna aplikasi tersebut rentan - termasuk informasi biometrik, data lokasi, dan riwayat penjelajahan.

Pada tahun 2022, perusahaan mengakui telah memata-matai wartawan melalui data lokasi.

CEO TikTok, Shou Zi Chew, dihadapkan pada serangkaian pertanyaan tentang kegagalan perusahaan teknologi untuk melindungi pengguna media sosial muda selama dengar pendapat Senat AS pada Januari lalu.

Namun demikian, kampanye Biden tidak memberikan rincian tentang strategi ini atau mengklarifikasi perangkat mana yang akan masuk ke dalam akun tersebut. Kampanye juga tidak menjelaskan apakah data kampanye atau data pemilih yang akan mereka lindungi.

Para ahli telah memprediksi bahwa musim pemilihan ini akan menyaksikan tingkat penipuan digital yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk video deepfake dan disinformasi yang dipersonalisasi oleh kecerdasan buatan.

Di tengah kekhawatiran ini, langkah kampanye Biden menarik kritik dari berbagai pihak.

Sebelumnya, ByteDance sudah mendapat masalah karena penggunaan data yang tidak tepat, termasuk denda sebesar 368 juta dolar AS (Rp5,7 triliun) dari Uni Eropa pada September.

Sebagian besar warga Amerika Serikat melihat TikTok sebagai ancaman besar atau kecil terhadap keamanan nasional, menurut jajak pendapat Pew Research Center.

Dalam sebuah konferensi pers, juru bicara Dewan Keamanan Nasional menyatakan bahwa kebijakan larangan penggunaan TikTok di perangkat pemerintah masih tetap berlaku.

Semua ini menunjukkan bahwa meskipun kampanye Biden bergabung dengan TikTok, kekhawatiran keamanan nasional tetap ada dan belum terselesaikan.