JAKARTA - Mengawali tahun 2023, market kripto nampak bergairah. Terbukti harga Bitcoin (BTC) kembali capai level psikologis di atas US$ 20.000 atau sekitar Rp300 juta dalam beberapa hari terakhir.
Tim analis Tokocrypto melihat kenaikan pasar ini didorong oleh indeks dolar AS (DXY) yang mendingin dan data inflasi AS yang positif, dalam laporan Consumer Price Index (CPI) terbaru dirilis pekan lalu.
Data inflasi AS diumumkan turun sesuai dengan prediksi menjadi sebesar 6,5 persen. Laju inflasi yang lebih lambat kemungkinan akan membuka jalan bagi The Fed untuk menurunkan laju kenaikan suku bunga menjadi 25 basis poin dari 50 bps pada bulan Desember 2022.
Kenaikan ke titik 20.000 dolar AS ini merupakan yang pertama kalinya sejak keruntuhan, FTX, yang mulai kolaps pada November lalu. Saat itu, BTC terjun bebas dari 21.300 dolar AS menjadi 15.600 dolar AS atau 20% hanya dalam waktu lima hari saja.
BACA JUGA:
"Kenaikan harga BTC juga memompa kapitalisasi pasar kripto secara keseluruhan hingga hampir menyentuh 1 triliun dolar AS. Ini juga menjadi menambah kepercayaan diri pelaku pasar kripto, sehingga sentimen market kembali positif," jelas Tim Analis Tokocrypto.
Adakah Ancaman Bull Trap?
Dari analisis teknikal, Bitcoin tampaknya sudah masuk dalam zona resistensi yang berada di kisaran angka 21.000 dolar AS. Namun di sisi lain ada ancaman bull trap yang harus diwaspadai investor.
Bull trap sendiri merupakan sebuah istilah untuk false signal yang mengacu pada tren menurun dalam investasi setelah harga sempat menembus level support.
Tekanan beli tinggi menjadi faktor utama naiknya harga Bitcoin, hal tersebut terlihat dari kenaikan Relative Strength Index (RSI) yang berhasil menyentuh level 50. Jika sinyal RSI berada di atas 50, maka tren sedang naik.