Bagikan:

JAKARTA - Bangunan tua bersejarah seperti Pantheon Romawi, Colosseum dan lainnya hingga kini masih menarik perhatian turis di seluruh dunia. Tetapi yang menjadi pertanyaan, bagaimana bangunan ini masih bisa berdiri kokoh hingga hari ini?

Pertanyaan tersebut serupa dengan yang dimiliki para ilmuwan dari Amerika Serikat (AS), Swiss, dan Italia, bagaimana orang Romawi bisa berhasil membangun bangunan dengan integritas struktural seperti itu.

Sekarang, mereka telah melakukan penelitian mendalam untuk mengetahui hal itu dengan menggunakan sampel beton dari Privernum, sebuah kota Romawi kuno dan situs arkeologi.

Para ilmuwan menemukan pecahan kapur dapat memperbaiki dinding yang retak dan dengan demikian dapat memperpanjang umurnya sendiri, dari waktu ke waktu.

Orang Romawi membuat beton mereka dengan cara yang sama seperti pada umumnya, menggunakan pasir, kerikil, atau tufa vulkanik, air, dan bahan pengikat.

Sebelumnya, para ilmuwan berasumsi orang Romawi menggunakan abu vulkanik sebagai bahan pengikat mereka. Tetapi, penjelasan dalam teks bersejarah menunjukkan abu dari daerah Pozzuoli dikirim ke seluruh kekaisaran Romawi dan digunakan dalam berbagai bentuk konstruksi bangunan bersejarah itu.

Setiap bongkahan putih yang ditemukan di seluruh beton dianggap sebagai produk dari pencampuran yang buruk atau bahan baku berkualitas rendah. Namun, mikroskop elektron pemindaian area besar dan spektroskopi sinar-X dispersif energi (SEM-EDS) telah membantu para ilmuwan mengidentifikasi asumsi mereka.

Alih-alih menunjukkan kualitas bangunan yang buruk, bintik-bintik putih di dalam beton Romawi justru berfungsi sebagai mekanisme penyembuhan independen untuk retakan yang terbentuk di dinding bangunan.

Bangsa Romawi menggunakan kapur api dengan atau sebagai pengganti kapur mati yang lebih tradisional seperti kapur dicampur dengan air saat mereka membuat bahan pengikat. Karena kapur api lebih reaktif, ia menghasilkan reaksi eksotermik yang memfasilitasi apa yang dikenal sebagai pencampuran panas.

Pencampuran panas tidak hanya mengurangi waktu pengerasan dan pengerasan pada beton. Ini juga menghasilkan senyawa terkait suhu tinggi yang tidak dapat dibentuk oleh kapur mati. Termasuk arsitektur partikel nano yang bertanggung jawab atas sumber kalsium yang rapuh dan reaktif.

Setiap retakan kecil yang mulai terbentuk pada beton akan berjalan melalui pecahan kapur, kemudian bereaksi dengan air untuk menghasilkan larutan jenuh kalsium. Ketika solusi ini direkristalisasi, itu akan mengisi retakan.

Para ilmuwan berusaha untuk menguji efek klas kapur Romawi pada beton modern, yang sebenarnya membutuhkan lebih banyak perbaikan dan mengeluarkan lebih banyak karbon selama pembuatan daripada pendahulunya.

Dalam sebuah makalah yang diterbitkan minggu lalu di Science Advances, ilmuwan menggambarkan proses yang mereka gunakan untuk menggabungkan semen Portland Biasa (OPC) dengan abu, pasir, dan air.

Lalu para ilmuwan menambahkan kapur api ke beberapa sampel sambil membiarkan yang lain apa adanya. Mereka memecahkan semua sampel, mengalirkan air melalui celah, dan kemudian membiarkannya selama dua minggu.

Secara mengejutkan, sampel yang mengandung kapur benar-benar tak lagi retak pada akhir periode dua minggu. Air tidak bisa lagi mengalir melalui retakan. Sementara itu, sampel yang dibuat tanpa kapur api masih dalam keadaan retak dan terus membiarkan air mengalir melalui retakannya.

Sekarang dikutip dari Extremetech, Kamis, 12 Januari, para ilmuwan berniat mengkomersialkan beton yang dilengkapi dengan kapur api itu. Salah satu metode untuk mengurangi jejak karbon semen adalah dengan meningkatkan umur panjang beton melalui penggabungan fungsi penyembuhan diri.

Masa pakai yang diperpanjang dihasilkan, dikombinasikan dengan pengurangan kebutuhan akan perbaikan ekstensif, sehingga dapat mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan siklus hidup ekonomis konstruksi semen modern.