Bagikan:

JAKARTA – Fase penurunan pasar kripto atau bear market telah berlangsung sejak Mei 2022 lalu hingga saat ini. Di tengah penurunan ini, Kepala Riset Global Standard Chartered, Eric Robertson, justru mengomentari pemimpin cryptocurrency terbesar berdasarkan kapitalisasi pasarnya, Bitcoin.

Menurut Robertson, harga Bitcoin berpotensi mengalami penurunan lebih dalam lagi. Dia memprediksi BTC bisa anjlok ke level 5.000 dolar AS (sekitar Rp77,9 juta) per BTC pada tahun 2023 mendatang. Bersamaan dengan itu, harga emas justru bisa melambung ke harga tertinggi sepanjang masanya, ATH, ke level 2.250 dolar AS (setara Rp35 jutaan) per ons di tahun yang sama.

Lebih lanjut, dia memaparkan penyebab kejatuhan harga Bitcoin ke level 5.000 dolar AS disebabkan oleh banyaknya perusahaan cryptocurrency yang kemungkinan mengalami krisis likuiditas. Hal ini telah dialami bursa kripto yang bangkrut pada November lalu, FTX, yang mengalami masalah likuiditas. Dalam kondisi ini, pejabat bank Standard Chartered itu optimis pada kenaikan harga emas.

Seperti dilaporkan CNBC, Robertson berpendapat bahwa tahun 2023 bisa membawa lebih banyak rasa sakit untuk pasar mata uang kripto, khususnya bitcoin. Dia memperkirakan harga aset ini bisa jatuh ke 5.000 dolar AS, atau mengalami penurunan 70 persen dibandingkan dengan valuasi saat ini.

Keruntuhan bisa datang sebagai akibat dari krisis masa depan perusahaan dan platform cryptocurrency lainnya yang dapat menemukan diri mereka dengan "likuiditas yang tidak mencukupi," mendorong mereka menuju perlindungan kebangkrutan. Peristiwa negatif lainnya seperti FTX dapat sangat mempengaruhi kepercayaan investor di sektor ini.

"Imbal hasil terjun bersama dengan saham teknologi, dan sementara aksi jual Bitcoin melambat, kerusakan telah terjadi," kata Eric Robertson.

Sebagaimana dilansir CryptoPotato, mata uang digital utama telah kehilangan sebagian besar nilainya selama pasar bearish yang sedang berlangsung. Bitcoin diperdagangkan sekitar 47.000 dolar AS pada awal tahun 2022, sementara pada saat penulisan baris-baris ini, nilainya sekitar 17.000 dolar AS (setara Rp266 jutaan).

Berlawanan dengan bitcoin, analis Standard Chartered memperkirakan bahwa emas bisa menjadi salah satu pemenang besar tahun depan, melonjak menjadi 2.250 dolar AS per ons. Ekspansi harga bisa mewakili kenaikan 25 persen dibandingkan dengan level saat ini dan level tertinggi baru sepanjang masa untuk logam mulia.

"Kebangkitan emas tahun 2023 [juga] terjadi ketika ekuitas melanjutkan pasar bearish mereka dan korelasi antara ekuitas dan harga obligasi bergeser kembali ke negatif," kata Robertsen.

Kendati begitu, dalam sebuah kesempatan CEO Standard Chartered Bill Winters justru menekankan pentingnya digitalisasi dalam struktur keuangan masa depan. Itu artinya penciptaan dan adopsi mata uang kripto “benar-benar tak bisa dihindari.” Karena itu, Winters menilai akan ada persaingan antara mata uang digital bank sentral (CBDC) dengan uang digital yang diterbitkan oleh pihak swasta.

"Saya pikir benar-benar ada peran untuk mata uang digital bank sentral serta mata uang digital yang disponsori oleh bank non-sentral,” kata Bill Winters.

Masih dalam pandangan pihak bank multinasional asal Inggris, José Viñals, Ketua Standard Chartered, tidak memungkiri manfaat dari sektor kripto. Menurutnya, setiap entitas moneter yang menyelidiki sektor kripto pada akhirnya akan mendapat manfaat.

Sebagai informasi, Standard Chartered juga sudah meluncurkan platform pendanaan perdagangan digital berbasis blockchain, Olea. Selain itu, StanChart menjadi bank pertama yang bergabung dengan Dewan Pelindung Global Digital Finance (GDF). Bersamaan dengan itu, Viñals mengharapkan perusahaan terkemuka lain untuk mengikuti langkahnya dan secara terang-terangan dia menyebut alasan kenapa kripto harus tetap ada.

"Ruang mata uang kripto adalah area di mana lembaga keuangan perlu hadir. Kami hadir," kata José Viñals.