Bagikan:

JAKARTA – Teknologi AI makin popular di kalangan masyarakat, karena dianggap memberikan sejumlah manfaat. Menurut survei, Indonesia termasuk negara yang paling optimistis dengan masa depan AI.

Dilansir Stanford Computer Science, artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan adalah ilmu rekayasa pembuatan mesin cerdas, melibatkan mekanisma untuk menjalankan suatu tugas menggunakan komputer.

Artificial Intelligence merupakan sebuah teknologi yang memungkinkan sistem komputer, perangkat lunak, program dan robot untuk “berpikir” secara cerdas layaknya manusia. Kecerdasan buatan suatu mesin dibuat oleh manusia melalui algoritma pemrograman yang kompleks.

Indonesia menduduki peringkat pertama dalam soal adopsi teknologi artificial intelligence (ai) atau kecerdasan buatan di Asia Tenggara. (IDC)

Konsep kecerdasan buatan pertama kali ditemukan setelah Perang Dunia II oleh ahli matematika dan filsuf muda Alan Turing pada 1947. Menurut Alan, jika manusia bisa mengolah informasi dan memecahkan masalah serta membuat keputusan dari informasi tersebut, maka mesin juga bisa melakukannya.

Sejak pertama kali digagas, AI terus berkembang dengan tujuan menciptakan kecerdasan yang mirip dengan manusia.  

Perkembangan AI yang begitu pesat dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Di satu sisi kehadiran AI bisa membantu pekerjaan manusia, tapi di sisi lain kecerdasan buatan dapat mengancam lapangan pekerjaan.

Pengaruh AI dalam Kehidupan Meningkat

Sebagai teknologi yang telah dan akan terus dimanfaatkan manusia, muncul sejumlah pertanyaan dari sudut pandang penggunanya. Contohnya, apakah teknologi AI sudah bisa meniru dengan akurat cara manusia bekerja?

Apakah implementasi AI benar-benar membantu hidup kehidupan atau malah jadi teknologi yang tak penting? Lantas bagaimana dengan kekhawatiran bahwa AI akan menggantikan fungsi atau pekerjaan manusia dan lain sebagainya.

Ketika internet mampu mengaburkan batas-batas bangsa, pendapat penduduk dunia terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut bisa berbeda. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan budaya, perilaku, hingga mungkin tingkat pendidikan masing-masing kelompok masyarakat.

Karena itulah, tidak bisa menyamakan kebiasaan menggunakan teknologi orang Indonesia dengan masyarakat Swedia sebagai contoh.

Salah satu survei yang dilakukan oleh Ipsos pada 2022 dan 2023 menunjukkan persepsi bahwa teknologi AI akan berpengaruh di kehidupan dalam tiga sampai lima tahun mendatang meningkat sebanyak enam persen dari yang awalnya 60 persen.

Robot pekerja di kantor yang menyerupai manusia, sebagai hasil pengembangan kecerdasan buatan. (Shutterstock)

Pemilihan periode ini menjadi penting tak hanya untuk melihat perbedaan persepsi masyarakat dari waktu ke waktu, tapi juga fakta bahwa ChatGPT yang disebut sebagai tonggak sejarah AI dirilis pada periode ini secara publik.

Meskipun hanya menyajikan data tahun 2023, sebagian besar responden asal Indonesia sepakat dengan pernyataan ini, yakni setidaknya terdapat 79 persen dari total populasi.

Namun, optmisme tertinggi dipegang Masyarakat Korea Selatan dengan 82 persen, disusul Turki sebanyak 81 persen. Sebaliknya, responden dari Prancis  dan Belgia menjadi yang paling skeptis bahwa implementasi AI akan berpengaruh ke dalam hidup mereka, yakni hanya 52 persen, sedikit di bawah Kanada dengan 51 persen.

Optimisme masyarakat Indonesia semakin diperkuat dengan populasi pendukung pernyataan bahwa produk dan layanan berbasis AI memiliki lebih banyak manfaat dari pada malah mendatangkan kerugian.

“Responden Indonesia tercatat yang paling tinggi, yakni sebanyak 78 persen. Di atas Thailand 74 persen dan Meksiko 73 persen,” demikian dikutip Netray.

Grafik persepsi penduduk dunia terhadap penggunaan teknologi AI. (Netray)

Tapi hal ini kontras dengan masyarakat Amerika Serikat, yang menjadi negara paling skeptis dengan pernyataan ini, disusul Prancis dengan 37 persen.

“Secara rasio, sebanyak 54 persen penduduk dunia di tahun 2023 mengamininya atau meningkat dua persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” imbuh Netray.

Responden Indonesia Paling Percaya Diri

Kembali ke grafik opini global dari survei yang diterbitkan Universitas Stanford bertajuk “Artificial Intelligence Index Report 2024”. Tingkat kepercayaan diri responden atas pemahaman produk dan layanan berbasis AI juga meningkat sebanyak tiga persen dari tahun sebelumnya.

Dengan demikian, dapat diartikan bahwa penggunaan teknologi ini semakin banyak diterima oleh masyarakat dari tahun ke tahun. Termasuk tingkat keyakinan bahwa responden mengetahui tipe produk dan layanan mana yang menggunakan kecerdasan buatan meski hanya naik satu persen.

Berdasarkan survei tersebut, responden Indonesia kembali menduduki peringkat teratas.

Grafik opini penduduk global terkait perkembangan teknologi AI. (Netray)

Dari total responden survei di Indonesia, sebanyak 84 persen merasa bahwa mereka mengerti apa itu teknologi kecerdasan buatan. Disusul dengan responden dari Afrika Selatan dan Thailand di angka 78 persen.

Tingkat kepercayaan diri penduduk dunia atas pemahaman terkait teknologi AI sendiri cukup tinggi. Hanya di posisi terbawah, yakni negara Jepang, sendiri tercatat sebanyak 43 persen. Selebihnya berada di atas 50 persen, seperti Italia sebanyak 53 persen.

Penggunaan teknologi AI masa kini sudah cukup menangani sejumlah kebutuhan manusia. Dari menangani pekerjaan yang bersifat repetitif, hingga membantu menghasilkan karya yang kreatif.

Melihat antusiasme penduduk Indonesia yang tinggi terhadap teknologi AI, Netray Artificial Intelligence API hadir sebagai solusi bagi pekerja profesional. Teknologi kecerdasan Netray untuk saat ini meliputi Netray Translate guna memudahkan proses alih bahasa dan Natural Language Processing untuk mengekstrak sejumlah entitas penting dari data teks tak terstruktur.