JAKARTA - Etnis Betawi dianggap tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi pemilihan Gubernur Jakarta. Hal inilah yang membuat Jakarta hanya dua kali dipimpin oleh putra daerah.
Berdasarkan sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, jumlah penduduk Jakarta mencapai 9.607.787 jiwa. Hasil sensus tersebut juga mengungkapkan bahwa penduduk Provinsi DKI Jakarta didominasi Suku Jawa dengan jumlah 3,453 juta jiwa. Di posisi kedua sampai kelima berturut-turut ditempati oleh Suku Betawi (2,700 juta); Sunda (1,395 juta); Cina (632 ribu); dan Batak (327 ribu).
Setiap menjelang pemilihan Gubernur, seruan untuk mengedepankan putra asli daerah sebagai cagub hampir selalu digaungkan pegiat budaya Betawi.
Sejak pemilihan gubernur pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, Jakarta telah memiliki total 22 pemimpin daerah. Mulai dari Suwiryo yang menjadi gubernur pertama Jakarta setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sampai Heru Budi Hartono yang menjadi Penjabat Gubernur menggantikan Anies Baswedan.
Tapi faktanya, hanya dua kali Jakarta dipimpin oleh putra daerah, yaitu Soerjadi Soedirdja yang memimpin DKI periode 1992-1997, serta Fauzi Bowo periode 2007-2012.
Bahkan menjelang Pilkada Serentak 2024 yang akan digelar pada 27 November, nama-nama yang muncul sebagai bakal calon Gubernur Jakarta didominasi oleh orang daerah lain.
Sebut saja Anies Baswedan dan Sohibul Iman yang diusung PKS, kemudian ada Ridwan Kamil, hingga Kaesang Pangarep. Hanya politikus NasDem Sahroni yang merupakan putra asli Jakarta yang disebut-sebut bakal maju Pilkada 2024.
Belum Jadi Prioritas Parpol
Pemerhati budaya Betawi Masykur Isnan mengatakan secara sistem, pemilihan calon kepala daerah di Jakarta memang tidak terlepas dari partai politik (parpol) pengusung. Parpol juga memiliki mekanisme sendiri untuk menentukan kandidat calon.
“Perspektif untuk mengedepankan orang Betawi belum menjadi tolok ukur utama bagi parpol, sehingga dalam proses penjaringan belum bisa melibatkan anak Jakarta sebagai prioritas,” ujar Masykur Isnan ketika dihubungi VOI.
Meski mendorong agar putra daerah diberi kesempatan, Masykur Isnan menegaskan tidak sembarang orang Betawi bisa ditunjuk maju dalam Pilkada Jakarta.
“Harus dilihat apakah sudah mumpuni atau tidak dilihat sebagai calon kandidat,” tuturnya.
“Pemimpin daerah harus dipastikan memahami kondisi daerahnya sendiri. Selain itu, harus memiliki kedekatan baik sosial, kultural dengan daerah yang dipimpin. Tidak boleh paradoks, pemimpin suatu daerah ternyata tidak memiliki dua hal tadi,” Isnan menambahkan.
Menurutya, dengan keikutsertaan orang Betawi, yang notabene warga Jakarta asli, berpotensi memberikan keuntungan. Kedekatan lokalistik, permasalahan, cara kultural, dan lain-lain bisa menjadi nilai tambah di Jakarta, selain menomorsatukan kompetensi.
"Sosok orang Betawi memiliki nilai tambah, sehingga perlu diberikan kesempatan dan ruang yang sama untuk memajukan daerah sendiri. Daerah lain juga diberi yang sama, contohnya Papua, diberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk ikut kontestasi dan memimpin daerahnya sendiri," ujarnya.
Bukan Jaminan Kemajuan
Sebelumnya, usulan agar unsur orang Betawi dimiliki oleh salah satu, gubernur atau wakil gubernur DK Jakarta, dibeberkan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sylviana Murni.
"Jadi maksud saya kolaborasi ini antara sedemokratis tetap bisa dipilih, tapi ada ketentuan yang mengatur kalau parpol akan mencalonkan dalam pilkada wajib salah satunya harus ada orang Betawi," kata Sylvi pada 15 Maret 2024.
Ia berkaca pada wilayah Papua yang mengakomodir orang asli Papua (OAP) untuk menduduki jabatan politik seperti kepala daerah. Selain itu, perwakilan OAP juga menduduki posisi sebagai anggota DPR.
Nah kalau misalnya memang ditunjuk tapi semua partai yang menunjuk pasangan untuk berjuang ke Pilkada ini ada kewajiban kuota perempuan 20 persen. Tapi ini wajib wagubnya kah, gubernurnya kah, itu harus dari unsur Betawi," saran Sylvi, yang pernah bertarung di Pilkada DKI 2017 sebagai calon wagub mendampingi Agus Harimurti Yudhoyono.
Namun pendapat berbeda pernah diungkapkan sejarawan asal Jakarta, JJ Rizal, yang menganggap tidak ada jaminan kebudayaan lokal maju jika Gubernur Jakarta berasal dari orang asli Betawi. Berdasarkan pengalamannya, gubernur dari etnis Betawi malah tidak serta-merta membuat perubahan bagi budayanya sendiri.
"Karena di dalam sejarah itu digambarkan, justru ketika gubernurnya orang Betawi, kebudayaan Betawi itu malah mengalami stagnansi, bukan kemajuan," kata Rizal pada 6 Maret 2016.
BACA JUGA:
Ia tidak keberatan jika hanya sedikit etnis Betawi yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Jakarta. Tidak ada kaitan antara cagub dari Betawi dan nasib kebudayaannya.
“Justru ketika gubernurnya bukan orang betawi, seperti Bang Ali (sapaan Ali Sadikin), itu dia serius mengelola orang Betawi dan butuh kesadaran bahwa Jakarta butuh identitas kultural," ucap Rizal.