JAKARTA – Warisan sering kali membuat hubungan keluarga renggang, seperti yang terjadi di Karawang dan Palembang baru-baru ini. Dari perpektif sosiologi hal ini terjadi salah satunya karena kondisi masyarakat yang semakin berubah menjadi materialistis, sedangkan dari segi hukum diakibatkan asal muasal harta yang bercampur selama pernikahan.
Seorang nenek bernama Kannut, 77 tahun, mendatangi Polda Sumatra Selatan (Sumsel) menggunakan kursi roda seusai dilaporkan empat anaknya sendiri karena sengketa warisan. Kannut digugat dan dilaporkan empat putri kandungnya karena perkara dugaan pemalsuan dokumen.
“Hj Kannut ini dilaporkan anak-anaknya karena penggelapan hak waris. Dalam laporannya ibu ini menjual tanah tanpa pesetujuan anaknya. Tapi kami punya bukti kalau itu sudah disetujui oleh anak-anaknya,” kata Moh. Novel Suwa, Direktur LBH Bima Sakti.
Kasus serupa Kusumayati, warga Karawang digugat anak kandungnya sendiri, Stephanie Sugianto. Kasus ini bermula saat pelapor, Stephanie, melaporkan Kusumayati ke Polda Jawa Barat karena memalsukan tanda tangan Surat Keterangan Waris (SKW).
Hubungan antara ibu dan anak tersebut sudah terjadi sejak suami Kusumayati, Sugianto, meninggal dunia pada 2013. Sugianto memiliki usaha keluarga yang kini dikelola oleh Kusumayati.
Stephanie mengaku melaporkan ibunya, karena mempertahankan hak-haknya sebagai salah satu ahli waris dari almarhum ayahnya, Sugianto, supaya mendapatkan perlakukan yang adil dan mendapatkan bagian hak waris sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan hukum waris.
Pembagian Warisan Berdasar Agama
Wirjono Prodjodikoro dalam Hukum Warisan di Indonesia mengatakan, warisan adalah perihal apakah dan bagaimana hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Mengutip Hukum Online di Indonesia ada tiga jenis hukum waris yang digunakan dalam pembagian warisan, yaitu hukum waris Islam, hukum waris adat, dan hukum perdata atau KUH Perdata.
Menurut Farizal Pranata Bahri, pengamat hukum pidana dari JFB Indonesia Legal Consultant, mengatakan peraturan pembagian warisan di Indonesia berdasarkan pada agama yang dianut subyek hukum.
“Kalau subyek hukumnya beragama Islam, maka memakai hukum Islam. Yang berhak menerima warisan yaitu anak kandung, suami atau istri yang salah satunya meninggal, serta hubungan saudara sedarah semenda baik dari garis keturunan ibu atau bapak dengan garis pertama,” kata Farizal kepada VOI.
“Kalau dalam Islam sudah jelas pembagiannya karena diatur dalam Al Quran dan hadist, sedangkan untuk non Islam diatur berdasarkan KUH Perdata,” lanjutnya.
Dasar dan sumber utama hukum kewarisan dalam Islam termaktub dalam surat An-Nisa ayat 11. Dalam hukum Islam, pembagian ahli waris dibagi menurut hubungan darah dan hubungan perkawinan. Hubungan darah dibagi dua golongan yaitu laki-laki (ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan kakek) dan perempuan (ibu, anak perempuan, saudara perempuan, dan nenek). Sedangan ahli waris dalam hubungan perkawinan dibagi menjadi dua yaitu janda atau duda.
Berbeda dengan hukum kewarisan dalam Islam, hukum waris perdata tidak membedakan besaran waris bagi laki-laki atau perempuan. Dalam hukum waris perdata, hak laki-laki dan perempuan dalam hal waris dinilai setara. Hak waris diutamakan kepada keluarga, baik sedarah atau karena perkawinan.
Terkait fenomena gugatan anak terhadap orangtua karena masalah warisan, menurut beberapa sumber terjadi karena keserakahan ahli waris, adanya kesalahpahaman, hingga dominasi ahli waris tertua yang ingin mendapatkan lebih banyak bagian dari pembagian harta.
Farizal menuturkan, pembagian warisan sering menjadi masalah di keluarga karena asal muasal harta yang telah bercampur selama pernikahan.
BACA JUGA:
“Ini menjadi polemik ketika salah satunya meninggal, baik suami atau istri, sehingga ahli waris berebut mengenai asal usul harta dengan mendalilkan bahwa itu harta warisan keluarga besar mereka yang belum di bagi sebelumnya,” jelasnya.
Untuk itu dikatakan Farizal, agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan ada baiknya pembagian warisan ini dinotarillkan di notaris untuk menghindari konflik.
“Dalam akta notarill akan jelas pembagiannya sesuai dengan kehendak dari pewaris,” ucap Farizal.
Masyarakat Lebih Materialistis
Sosiolog Universitas Negeri Sebelas 11 Maret (UNS) Rahesli Humsono mengatakan, fenomena anak menggugat orangtua menunjukkan semakin melemahnya nilai keluarga dalam masyarakat.
Gugatan anak kepada orangtua disebabkan sejumlah faktor. Dijelaskan Rahesli, hal ini terjadi karena adanya perbedaan makna fungsi keluarga sebagai perlindungan bagi semua anak.
“Dari sisi orang tua, mereka merasa melindungi anak dengan memberikan hasil menjual tanah untuk keperluan anak,” kata Rahesli, dikutip Kompas.
“Tapi dari sisi anak mungkin berbeda, yaitu apa yang diperoleh lebih sedikit dari saudaranya sehingga ia merasa tidak mendapat perlindungan yang sama,” sambungnya.
Selain itu, Rahesli juga menyebut di masa sekarang banyak yang menganggap orangtua bukan lagi satu-satunya sumber keberhasilan anak.
Ilmu pengetahuan, jaringan, dan pekerjaan yang semuanya sangat mungkin dicari sendiri oleh anak membuat mereka berpendapat bahwa keluarga tidak lagi menjadi sumber keberhasilan.
Penyebab lainnya adalah kondisi masyarakat yang semakin materialistis membuat segala sesuatu dihitung secara rigid atau kaku. Anak berpikir apa yang diberikan kepada dirinya harus sama dengan saudara lainnya, sehingga mendorong terjadinya fenomena anak gugat orangtua.
Rahesli berharap kasus-kasus gugatan warisan bisa diselesaikan secara kekeluargaan tanpa menempuh jalur hukum.
“Kasus-kasus seperti ini perlu didorong untuk diselesaikan secara kekeluargaan, untuk memperkuat nilai-nilai keluarga,” pungkasnya.