Bagikan:

JAKARTA – Pemerintah masih menunggu penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengenai status legalitas tanaman kratom. Kajian ini nantinya akan menjadi landasan untuk menetapkan kebijakan tentang tata kelola dan tata niaga kratom.

Kementerian Kesehatan, BRIN dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mendapat instruksi dari Presiden Joko Widodo untuk meneliti kandungan apa saja dari tanaman kratom. Hingga saat ini, status kratom masih berbenturan antar kementerian dan lembaga pemerintah. 

“Presiden menekankan yang perlu dioptimalisasi adalah asas manfaat kratom itu,” ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko usai mengikuti rapat terbatas yang dipimpin oleh Jokowi tentang legalisasi kratom di Istana Kepresidenan, Kamis (20/6/2024).

Seorang petani kratom asal Kapuas Hulu, Harrun sedang memetik daun kratom yang memiliki nilai ekonomis dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah Kapuas Hulu Kalimantan Barat. (ANTARA/HP-Teofilusianto Timotius)

Status legalitas tanaman kratom belum jelas, padahal ada ribuan petani menggantungkan hidupnya pada tumbuhan ini, yang dipercaya memiliki berbagai khasiat. Di sisi lain Badan Narkotika Nasional (BNN) bersikeras tanaman kratom berbahaya karena zat adiktifnya lebih tinggi dari ganja.

Di negeri Amerika Serikat, kratom digunakan untuk terapi ketergantungan opium, baik dalam bentuk bubuk atau pil. Tapi ini menjadi isu pelik di negara tersebut, karena lebih dari 130 orang mati karena overdosis opium setiap hari pada 2017, menurut Departemen Kesehatan AS.

Harganya Merosot

Kratom atau Mitragyna speciose tumbuh berkembang positif di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Sudah sejak lama masyarakat percaya, kratom memiliki sejumlah manfaat, seperti meredakan sakit perut dan pegal linu serta menghilangkan rasa lelah. 

Masyarakat di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, biasanya malah memanfaatkan daun kratom sebagai bahan sajian minuman semacam teh.

Manfaat kesehatan inilah yang menjadikan kratom di Kalimantan banyak diekspor ke negara-negara Amerika Serikat dan Eropa. Tidak mengherankan jika kratom dianggap sebagai komoditas ekspor yang menjanjikan di Kalimantan.

Petani kratom sempat merasakan manisnya membudidayakan tanaman endemi Asia Tenggara ini, yang termasuk komoditas ekspor unggulan dari Kalimantan Barat. Bagaimana tidak, pada 2019 seorang petani kratom bisa mengantungi Rp600 ribu per hari dari penjualan kratom.

Di masa jayanya, remahan kratom dihargai R60.000 sampai Rp70.000 per kilogram. Tapi kini harganya terjun bebas menjadi hanya beberapa belas ribu saja dengan berat yang sama.

Legalitas daun kratom masih terus diteliti BNN, sementara Presiden Joko Widodo memberikan titah untuk menyusun regulasi terkait budidaya kratom agar nilai ekonomi dan kualitasnya meningkat. (ANTARA)

Masalah harga ini mendapat keluhan dari semua petani. Mereka percaya harga kratom yang merosot karena adanya persaingan yang tidak sehat. Persaingan tidak sehat ini disinyalir diakibatkan belum ada regulasi pemerintah mengenai tanaman kratom.

Di sisi lain, menurut data Kementerian Perdagangan (Kemendag), nilai ekspor kratom mengalami pertumbuhan dengan tren 15,92 persen per tahun, sejak 2019 sampai 2022. Negara tujuan ekspor terbesar adalah Amerika Serikat, meski di beberapa negara bagiannya melarang kratom. 

Dengan alasan tersebut, Presiden Jokowi memberikan titah kepada kementerian dan lembaga terkait untuk menyusun regulasi budidaya kratom agar nilai ekonomi dan kualitasnya meningkat. Pemerintah juga ingin merumuskan kualitas kratom untuk ekspor dan menyosialisasikannya kepada masyarakat.

Jika kemudian legalitas tanaman kratom telah ditetapkan, harapannya adalah harga kratom membaik, dan mendorong masyarakat kembali bertani kratom sebagai salah satu sumber pendapatan utama.

Potensi Penyalahgunaan

Namun, potensi ekonomi kratom bertolak belakang dengan efek samping yang telah banyak ditemukan di negara pengimpornya. Kasus kecanduan dan kematian akibat kratom menjadikan tanaman ini sebagai tanaman yang berbahaya. 

Karena itulah, keinginan Presiden Jokowi mengatur regulasi terkait budidaya kratom di Indonesia juga masih harus menunggu hasil penelitian. Sekarang ini tanaman tersebut dalam penelitian BRIN dan didampingi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk meneliti lebih lanjut manfaat penggunaan kratom. Penelitian ini diprediksi selesai pada Agustus mendatang.

Hingga saat ini, kratom statusnya masih dilarang di Indonesia, sesuai dengan Surat Edaran Kepala BPOM no HK.04.4.42.421.09.16.1740 tahun 2016 tentang Pelarangan Penggunaan Mitragyna Speciosa (kratom) dalam obat tradisional dan suplemen kesehatan.

Kratom memiliki senyawa aktif yang berkontribusi pada efek terapeutik. Beberapa senyawa utama yang terkandung antara lain Mitragynine, 7-hydroxymitragynine, Speciociliatine, Corynantheidine, Speciogynine, Paynantheine, dan Mitraphylline.

Dari segi kesehatan, kratom dipercaya memiliki sejumlah khaisat seperti pereda nyeri, menurunkan kadar gula darah, sampai membuat suasana hati lebih ceria.

Tapi beberapa penelitian menyebut penggunaan kratom dengan dosis rendah berefek stimulan, sementara pada dosis tinggi mengakibatkan depresi dan withdrawal (gejala putus obat).

BNN sendiri sampai sekarang masih menyatakan kratom sebagai narkotika sehingga diusulkan menjadi target pelarangan. BNN hendak memasukkan kratom ke daftar narkotika Golongan I yang artinya masuk kategori sangat berbahaya dan terlarang tanpa pengecualian, termasuk untuk pengobatan. Namun daun kratom belum masuk dalam peraturan Kementerian Kesehatan. 

Bukan tanpa alasan BNN bersikeras menyatakan kratom sebagai barang haram. Dalih BNN, banyak orang menyalahgunakan daun tanaman rubiaceae atau jenis kopi-kopian itu.

Sementara status kratom di Indonesia masih dalam proses, berbeda dengan sejumlah negara lain yang sudah melarang tanaman ini, yaitu Denmark, Polandia, Swedia, dan Irlandia. Malaysia, Myanmar, dan Australia juga melarang zat yang terkandung dalam kratom untuk dikonsumsi.

Jika nantinya resmi masuk ke Golongan I narkotika, maka baik pengguna, pengedar, dan jaringan kratom akan diberlakukan hukuman seperti narkotika lainnya. Yang berarti, petani di Kalimantan tak lagi dapat menanam kratom, meskipun permintaan legal dari negara lain masih besar.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyampaikan keterangan pers di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis (20/6/2024). (ANTARA/Yashinta Difa Pramudyani/aa)

Peneliti kratom Dr. Ari Widiyantoro dari FMIPA Universitas Tanjungpura berpendapat justru bukan pelarangan yang dibutuhkan terkait kratom, melainkan pengawasan lewat aturan resmi Kementerian Kesehatan, mengingat potensi kratom terkait kebutuhan medis. Ia yakin jika dikonsumsi dalam dosis tepat, kratom tidak akan menyebabkan ketergantungan.

"Cuma masalahnya penggunaannya harus diatur, dosisnya terutama, dan siapa yang harus memakai," kata Ari.