Bagikan:

JAKARTA – Penyandang disabilitas menyumbang angka pengangguran yang tinggi di Indonesia. Selama ini pemerintah dinilai lebih senang melakukan pendekatan charity-based atau bansos dibandingkan empowerment-based, atau pemberdayaan.

Belum lama ini media sosial dihebohkan dengan video viral yang menceritakan bagaiamana seorang disabilitas bekerja sebagai kurir paket di salah satu perusahaan ekspedisi barang.

Dia adalah Sirilus Siko, seorang tunadaksa yang sehari-harinya mengantar paket dengan tongkat atau kruk. Selain itu, Sirilus Siko juga memodifikasi motornya menjadi beroda tiga yang digunakan untuk membawa paket-paket kustomer di kawasan Surabaya Timur.

Pria yang juga atlet Timnas Sepak Bola Indonesia Amputasi ini mengaku merasa bahagia melihat kostumer menerimanya saat mengantar paket.

“Ada kebangsaan tersendiri setelah kustomer tersenyum bahagia atas paket yang diterimanya,” aku Sirilus Siko.

Menjadi Beban Ekonomi Negara

Tapi Sirilus Siko mungkin hanya satu dari sedikit penyandang disabilitas yang mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi dirinya sendiri alias tidak menggantungkan hidup kepada orang lain.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Survei Ekonomi Nasional 2020 mencatat ada 28,05 juta penyandang disabilitas. Jumlah ini setara 10,38 persen populasi nasional, dengan mayoritas umum kemungkinan pada usia produktif.

Banyak dari mereka belum siap kerja karena kurangnya kesempatan, akses, dan akomodasi yang layak.

Menurut Masykur Isnan, Advokat Spesialis Hukum Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial, tingginya angka pengangguran disabilitas ini menimbulkan beban ekonomi bagi negara. Pemerintah cenderung mengatasi masalah ini dengan pendekatan charity, seperti penyaluran bantuan sosial (bansos). Padahal menyaluran bansos memakan anggaran yang cukup besar.

Masykur Isnan melanjutkan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Bagian Keempat Pasal 53 telah mengamanatkan kuota dua persen pekerja disabilitas di instansi pemerintah dan BUMN, serta satu persen di perusahaan swasta.

Hani Hadiyanti, perempuan tunadaksa asal Bandung, yang berjualan demi menghidupi keluarganya. (ANTARA)

Banyak pihak, terutama BUMN, belum memenuhi kuota dua persen. Sementara itu, perusahaan swasta mempertanyakan insentif yang akan mereka dapatkan jika memenuhi kuota satu persen.

“BUMN diharapkan dapat menjadi contoh penyelanggaraan Good Corporate Governance (GCG) dan pematuhan terhadap undang-undang dengan sebaik-baiknya, namun faktanya hal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang tidak pernah selesai,” kata Isnan dalam keterangan yang diterima VOI.

Masalah pun tidak selesai saat disabilitas diterima kerja. Pemerintah, BUMN, dan swasta belum melibatkan disabilitas dalam perencanaan rekrutmen. Akibatnya, penempatan kerja seringkali tidak sesuai dengan jenis dan tingkat kedisabilitas, serta tidak mengakomodasi kebutuhan khusus mereka.

Tingkatkan Aksebilitas Penyandang Disabilitas

Organisasi disabilitas, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mendorong pemerintah menunaikan tugasnya untuk memenuhi hak kerja bagi penyandang disabilitas, serta hal perlindungan dan jaminan sosialnya.

Dituturkan Marsinah Dhede dari PJS, implementasi dari Ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Disabilitas 2011/19 dan UU Penyandang Disabilitas tahun 2016 nomor 8 agar penyandang disabilitas masuk ke dunia kerja masih sangat minim.

“Industri Indonesia melihat pekerja penyandang disabilitas akan meningkatkan biaya produksi, karena memang kami berharap penyandang disabilitas dapat dipenuhi hak-haknya di tempat kerja agar menjadi lebih produktif. Tapi ini malah dianggap meningkatkan biaya produksi,” kata Dhede.

Ia menambahkan, orang di rezim industri dan negara masih melihat 'kerja' sebagai bentuk kedermawanan terhadap penyandang disabilitas. Padahal kerja merupakan hak bagi penyandang disabilitas, termasuk perempuan penyandang disabilitas.

Sementara itu, Masykur Isnan menekankan perlunya perubahan paradigma dari charity-based menjadi empowerment-based. Sederhananya, bantuan berupa bansos untuk penyandang disabilitas akan lebih baik diganti dengan menjadikan mereka berdaya.

Pemberdayaan disabilitas dalam dunia kerja tidak hanya menyelesaikan masalah mereka, tetapi juga memberikan manfaat bagi pekerja non-disabilitas. Fasilitas dan akomodasi yang layak bagi disabilitas juga dapat dinikmati oleh non-disabilitas.

Pendekatan ini juga difokuskan pada peningkatan kapasitas dan kemandirian penyandang disabilitas agar dapat berpartisipasi penuh dalam dunia kerja.

Menurut Masykur Isnan, pemerintah perlu lebih tegas dalam mengawasi dan memberikan sanksi bagi perusahaan yang tidak memenuhi kuota pekerja disabilitas. Penguatan implementasi kebijakan afirmatif menjadi hal yang penting dan perlu. Selain itu, pendekatan lain juga bisa dipertimbangakan, di antaranya adanya insentif bagi perusahaan yang mempekerjakan dan memberikan akomodasi yang layak bagi pekerja disabilitas.

Warga penyandang disabilitas mengikuti pelatihan kerja menjahit di Klewor, Kemusu, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (3/11/2022). (ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho)

Pemerintah dan stakeholder lainnya perlu meningkatkan aksesibilitas dan akomodasi di tempat kerja bagi penyandang disabilitas, seperti penyediaan fasilitas ramah disabilitas, teknologi pendukung, dan pelatihan khusus. Selanjutnya mendorong BUMN, instansi pemerintah dan swasta mengimplementasikan secara kompehensif dan sistemik.

“Dengan semakin berdayanya disabilitas, ketergantungan pada bansos akan berkurang, anggaran dapat dihemat, jumlah pengangguran menurun, dan produktivitas SDM meningkat,” kata Isnan menjelaskan.

“Dampak jangka panjangnya, perekonomian akan membaik, beban negara berkurang, penerimaan pajak bertambah, dan cita-cita Indonesia Emas 2045 dapat tercapai,” ujar Isnan memungkasi.