Bagikan:

JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah sepanjang Juni ini. Dolar AS bahkan melesat hingga menembus 16.421 pada Kamis (20/6/2024) siang.

Pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS yang terus meningkat menjadi perhatian banyak pihak, termasuk dalam konteks ekonomi mikro dan dampaknya terhadap rumah tangga Indonesia.

Karena pelemahan nilai tukar tidak hanya memengaruhi kondisi ekonomi suatu negara, tapi juga berdampak hingga ke kehidupan sehari-hari masyarakat.

Hal ini dituturkan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, sektor rumah tangga termasuk yang paling terdampak atas melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar.

Sejumlah warga saat mengantre membeli sembako di "Jakarta Food Festival 2024" di Jakarta, Kamis (20/6/2024). (ANTARA/Khaerul Izan)

“Harga barang, terutama barang impor, seperti elektronik, barang otomotif, suku cadang kendaraan bermotor, peralatan rumah tangga akan naik,” ujar Bhima saat dihubungi VOI.

“Ada kekhawatiran kenaikan harga di level retail dan bagi masyarakat harus bayar lebih mahal karena ada selisih kurs yag diteruskan oleh importir kepada konsumen akhir,” imbuhnya.

Kesempatan Kerja jadi Terbatas

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi sejak awal Juni ini menjadi perhatian masyarakat, termasuk para ibu rumah tangga dan pelaku usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) di Tanah Air.  

Ini karena pelemahan nilai tukar rupiah hampir pasti dibarengi dengan kenaikan harga bahan pokok yang bisa membuat para ibu menjerit.

Direktur CELIOS Bhima Yudhistira menjelaskan beberapa dampak yang dirasakan rumah tangga ketika dolar AS terus menguat terhadap rupiah.

Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah akan membuat harga BBM, LPG, dan tarif listriknya terutama yang non-subsidi akan mengalami penyesuaian atau kenaikan. Ini karena kurs rupiah merupakan variabel kunci dari stabilitas harga energi.

Selain itu melemahnya kurs rupiah juga membuat kesempatan kerja menjadi sangat terbatas atau pendapatan masyarakat melambat dan bahkan bisa turun. Buntutnya, hal ini berpotensi meningkatkan angka pengangguran.

Terakhir, dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terasa pada peningkatan suku bunga.

“Jika rupiah mengalami pelemahan, intervensi moneter biasanya dilakukan dengan menaikan suku bunga acuan dan suku bunga acuan yang naik artinya berpengaruh langsung pada suku bunga bank baik kredit modal usaha, maupun kredit konsumsi seperti KPR, kredit kendaraan bermotor yang semakin mahal,” Bhima menjelaskan.

Bahan Pangan Impor

Selain kenaikan harga elektronik, pelemahan rupiah juga berimbas pada harga bahan pangan. Hal ini pernah disinggung Kepala Center of Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha beberapa waktu lalu.  

Ia mengatakan anjloknya rupiah bisa berdampak pada meningkatnya pengeluaran ibu rumah tangga Indonesia yang disebabkan lonjakan harga bahan pokok impor. Beras, tempe maupun kacang kedelai merupakan contoh bahan pokok yang diperoleh melalui impor. Indonesia sendiri tercatat sebagai pengimpor kedelai.

Dalam lima tahun terakhir, volume impor kedelai sebenarnya terus menyusut, sekitar 12,04 persen dari 2,59 juta ton pada 2018 menjadi 2,27 juta ton pada 2023. Impor kedelai tertinggi terjadi pada 2019, yaitu sebanyak 2,67 juta ton.

Meski volume melandai, namun data tersebut menunjukkan secara nilai impor kedelai terus naik. Dalam lima tahun nilai impor melejit lebih dari 30 persen dari sebesar Rp1,47 miliar.

Pekerja menggiling kedelai untuk pembuatan tahu di sentra industri tahu Brojolan, Temanggung, Jawa Tengah, Senin (25/3/2024). (ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN)

“Beras, tempe, soybean juga merupakan impor. Kalau untuk ibu-ibu pasti kalau harga-harga di pasar naik, pasti pada teriak-teriak,” kata Eisha dalam Diskusi Publik Ekonom Perempuan INDEF secara virtual pada April lalu.

Guna menjaga daya beli tidak mengalami penurunan, Eisha menyebut pemerintah perlu mengendalikan harga-harga maupun menjaga inflasi. Upaya ini membutuhkan kerja sama antara pemerintah dan Bank Indonesia.

“Dari daya beli konsumsi masyarakat, yang diutamakan adalah mereka golongan bawah dan rentan. Perlu dilihat dampak kenaikan harga terhadap daya beli masyarakat,” jelasnya.