Bagikan:

JAKARTA – Suku Awyu menjadi perbincangan beberapa waktu setelah pejuang lingkungan hidup Suku Awyu menggelar aksi damai di depan gedung Mahkamah Agung (MA) beberapa waktu lalu. Gara-gara aksi Suku Awyu pula, seruan All Eyes in Papua menggema di media sosial.

Perwakilan Suku Awyu berangkay dari Papua ke Jakarta untuk melanjutkan perjuangan mempertahankan tanah adat yang terancam jadi perkebunan sawit. Masyarakat adat menggugat pemerintah agar izin perusahaan perkebunan sawit dicabut dan kasusnya sedang kasasi di MA.

Dengan pakaian khas adat, pembela lingkungan hidup dari Awyu mendatangi MA. Mereka menggelar doa dan ritual adat di depan lembaga peradilan tertinggi itu, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Perwakilan masyarakat aday Awyu asal Papua Barat mengunjungi gedung Mahkamah Agung menuntut pencabutan izin dua perusahaan kelapa sawit di Boven Digoel yang mengancam hutan adat mereka. (Greepeace)

“Kami datang menempuh jarak jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang tengah kami lawan ini,” kata Hendrikus Woro, pembela lingkungan hidup dari Suku Awyu.

Sejak saat itu, gambar dengan tulisan All Eyes on Papua merebak di media sosial, sebagai bentuk dukungan warganet kepada Suku Awyu yang tengah berjuang mempertahankan tanah adat mereka.

Siapa sebenarnya Suku Awyu ini?

Bergantung pada Kekayaan Alam

Menurut buku Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia (1997) oleh Dr. Zulyani Hidayah, Suku Awyu dalah kelompok etnis yang mendiami daerah aliran Sungai Digul di Pesisir Papua Selatan, Indonesia. Daerah tersebut masuk dalam wilayah Kabupaten Mappi yang juga didiami oleh orang Yahraim (Yaghai) dan orang Muyu pada bagian Barat. Menurut sensus penduduk tahun 2017, jumlah populasi ini berkisar 27.300 jiwa.

Mata pencaharian Suku Awyu sebagian besar sebagai peramu dan pemburu. Makanan utama masyarakat Awyu adalah sagu, ikan, dan udang yang ditangkap di sungai atau rawa.

Karena itulah, ketika sekita 36.094 hektare atau seluas setengah wilayah Jakarta tanah mereka terancam dijadikan lahan wasit, masyarakat Suku Awyu memprotes. Menurut Hendrikus Woro, kehidupan Suku Awyu sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya.

“Itu semua menjadi sumber mata penaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah rekening abadi bagi kami masyarakat adat,” ujar Hendrikus, mengutip Greenpeace Indonesia.

Suku Awyu menggunakan Bahasa Awyu yang termasuk ke dalam rumpun Bahasa Papua yang terbagi atas lima hingga 11 dialek. Beberapa di antaranya adalah Asue, Pisa, Pasue, Aghu, Jair (Sungai Edera, Kia Atas dan Kia Bawah), Yenimu (Oser) serta Siaxa (Siagha).

Budaya Berbahasa dan Mencari Makan

Bahasa adalah salah satu sistem komunikasi yang digunakan manusia dan memiliki fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat sebagai sarana berkomunikasi, penanda identitas dan lainnya.

Demikian pula dengan masyarakat Awyu, yang sehari-harinya menggunakan Bahasa Awyu untuk berkomunikasi. Contohnya adalah Kiti atau Aye untuk panggilan ayah, Uni untuk panggilan ibu, dan Tete untuk panggilan kakek.

Sayang budaya bahasa Awyu mulai memudar karena perkembangan zaman dan teknologi. Hal ini juga dipengaruhi faktor internal maupun eksternal yang membuat bahasay Awyu memudar.

Salah satu faktor eksternal yaitu adanya perkawinan campur antara suku Awyu dan suku lainnya. Contohnya perkawinan campur suku asli Awyu dan suku Jawa, sehingga membuat penggunaan bahasa Awyu dalam kehidupan sehari-hari memudar sedikit demi sedikit karena terjadi percampuran bahasa dari kedua orangtua.

Sementara faktor internal yang menyebabkan memudarnya bahsa Awyu adalah karena sikap tak acuh dari masyarakat itu sendiri.

Sejumlah penari membawakan tarian Pangkur Sagu di Istora Papua Bangkit, Kampung Harapan, Kabupaten Jayapura, Papua, Jumat (1/10/2021). (ANTARA/M Risyal Hidayat)

Terkait budaya makanan, sagu merupakan simbol kehidupan bagi masyarakat Papua, tidak terkecuali bagi masyarakat Awyu. Sebelum sagu diolah ada proses yang harus dilewati, yaitu proses pangkur sagu. Pada tahap ini, pohon sagu dipukul oleh kayu hingga bisa diolah. Proses memangkur sagu merupakan salah satu hal yang unik dari masyarakat Papua.

Untuk memproses sagu, masyarakat Awyu masih menggunakan alat tradisional seperti kapak, parang, penumbuk sagu, pelepah sagu, dan pelepah kelapa.

Kegiatan masyarakat Papua bersiap melakukan panen hasil tani sagu menginspirasi terciptanya Tari Pangkur Sagu. Tarian ini secara simbolik menggambarkan ritual pesta yang diadakan masyarakat Papua saat membuat sagu. Gotong royong, kebersamaan, serta rasa syukur adalah nilai yang ingin ditampilkan dalam tarian ini.