Bagikan:

JAKARTA – Tak lama setelah media sosial diramaikan dengan gambar All Eyes on Rafah, kini kalimat All Eyes on Papua viral. Masyarakat adat Papua tengah memperjuangkan tanah mereka yang akan dibabat menjadi hutan sawit.

Gerakan All Eyes on Papua muncul di berbagai platform media sosial, mulai dari Instagram sampai X, yang sebelumnya bernama Twitter.

Secara harfiah, gerakan ini berarti semua mata tertuju pada Papua. Kalimat tersebut merupakan bentuk kepedulian masyarakat terhadap hutan Papua yang disebut akan dijadikan lahan perkebuan sawit.

Gambar bertuliskan All Eyes on Papua viral di media sosial. (Instagram)

“Senin kemarin masyarakat adat Awyu Papua demo di depan Gedung Mahkamah Agung. Mereka sedang memperjuangkan hak-hak mereka, hutan adat tempat mereka tinggal bakalan kena gusur buat dijadiin kebun sawit. Please focus on them too #Alleyesonpapua #Alleyesonpapua,” tulis pengguna akun X @lercwolf.

“Dari sini kita akan paham bahwa saudara kita di Indonesia dimiskinkan oleh para pejabat, petinggi rakus yg isi otaknya bisnis semua. Sacrificing forests for oil palm plantations is a selfish and inhumane act. DON’T STOP TALKING ABOUT PAPUA!! #AllEyesOnPapua #LindungiHutanPapua,” tulis pengguna akun lainnya, @variabelcepheid.

Memperjuangkan Hutan Adat

All Eyes on Papua muncul di medis sosial setelah pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi terlibat konflik lahan dengan PT Indo Asiana Lestari (PT IAL).

Konflik ini bermula dari hutan seluas 36.094 hektare atau setara separuh Jakarta yang berlokasi di Boven Digul, Papua bakal dibabat untuk pembukaan lahan perkebunan sawit oleh PT IAL.

Sudah sejak lama, masyarakat adat Papua melakukan aktivitas berburu dan meramu untuk kelangsungan hidup mereka secara turun-menurun. Karena itulah, proyek pembukaan lahan Perkebunan sawit oleh PT IAL mengancam kehidupan masyarakat Papua, termasuk suku Aywu dan Moi.

Pada 2021, Pemerintah Provinsi Papua mengeluarkan izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL membuka perkebunan seluas lebih dari 36 ribu hektare di Distrik Mandobo dan Distrik Fofi, Kabupaten Digoel, Provinsi Papua Selatan. Selain itu, akan dibuka pula pabrik pengolahan kelapa sawit berkapasitas lebih dari 90 ton tandan buah segar (TBS) per jam.

Pemberian izin lingkungan tersebut kemudian digugat oleh Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, di Pengadilan Tata Usaha Negara Jayapura pada 10 Agustus 2023. Tapi sayang gugatan tersebut kalah dan kini Mahkamah Agung (MA) menjadi harapan terakhir untuk menyelamatkan hutan mereka.

Pada Senin (27/5/2024), pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu dan suku Moi mendatangi Gedung MA di Kawasan Jakarta Pusat. Mengenakan busana khas suku masing-masing, mereka menggelar doa dan ritual adat di depan kantor lembaga peradilan tertinggi tersebut, diiringi solidaritas mahasiswa Papua dan sejumlah organisasi masyarakat sipil.

Melalui aksi damai ini, masyarakat adat suku Awyu dan suku Moi berharap MA menjatuhkan putusan hukum yang melindungi hutan adat mereka.

“Kami datang menempuh jarak yang jauh, rumit, dan mahal dari Tanah Papua ke Ibu Kota Jakarta, untuk meminta Mahkamah Agung memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang kini tengah kami lawan ini,” kata Hendrikus Woro, melansir laman Greenpeace.

Pertanyakan Komitmen Atasi Perubahan Iklim

Keberadaan perusahan sawit PT IAL akan merusak hutan yang menjadi sumber penghidupan, pangan, air, obat-obatan, budaya, dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi.

Fiktor Klafiu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin menegaskan hutan adat adalah tempat masyarakat berburu dan meramu sagu. Hutan juga dianggap sebagai apotek karena semua kebutuhan masyarakat ada di hutan.

Hutan tersebut juga habitat bagi flora dan fauna endemik Papua, serta penyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar. Operasi PT IAL dikhawatirkan memicu deforestasi yang akan melepas 25 juta ton jejak karbon atau CO2e ke atmosfer, sehingga memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) yakin pemberian izin kepada perusahaan untuk usaha perkebunan kelapa sawit dan mengonversi kawasan hutan Papua dalam skala luas melanggar hak adat dan tidak sesuai dengan komitmen pemerintah Indonesia dalam mengatasi perubahan iklim.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengatakan, secara filosofis, masyarakat adat Papua memandang tanah dan sumber daya alam di dalamnya memiliki kedudukan dan posisi yang penting dan mempengaruhi gerak hidup masyarakat. Tanah diyakini sebagai harapan bersama, dan tanah sebagai relasi iman.

Seorang petani mengumpulkan buah kelapa sawit di kawasan transmigrasi Arso di Provinsi Papua. (X)

Tanah sebagai harapan bersama memiliki makna tanah adalah harta abadi dan terakhir. Sementara konsep tanah sebagai harapan hidup berkaitan erat dengan harapan hidup masyarakat asli Papua, di mana mereka tidak bisa hidup tanpa tanah.

“Masyarakat adat hidup, bekerja dan tinggal di atas tanah. Tanah menciptakan dan melahirkan orang asli Papua sebagai manusia sejati. Oleh karenanya, tanah juga dianggap sebagai Mama sejati, karena masyarakat adat hidup dan dibesarkan oleh tanah milik mereka,” kata Uli Arta Siagian.

Karena itulah, WALHI mengatakan pengambilan wilayah adat secara sepihak sama artinya mengambil seluruh kehidupan masyarakat.