JAKARTA – Keputusan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusung pasangan Anies Baswedan sebagai bakal calon gubernur (bacagub) dan Mohammad Sohibul Iman sebagai bakal calon wakil gubernur (bacawagub) Daerah Khusus Jakarta 2024 mengejutkan. Menurut pengamat, PKS melakukan political bluffing atau gertakan politik yang hebat.
Keputusan tersebut disampaikan Presiden PKS Ahmad Syaikhu saat pembukaan Sekolah Kepemimpinan Partai di Jakarta, Selasa (25/6/2024).
"Struktur DPW PKS DKI Jakarta sebelumnya telah mengusulkan beberapa nama bakal calon Gubernur Daerah Khusus Jakarta ke DPP PKS, termasuk di antaranya Bapak Anies Rasyid Baswedan dan Bapak Mohamad Sohibul Iman," tutur Syaikhu seperti dilansir dari situs resmi PKS.
Ahmad Syaikhu menjelaskan, alasan partainya sepakat mengusung Anies Baswedan karena mantan Menteri Pendidikan itu sukses membangun Jakarta selama menjadi gubernur periode 2017-2022 dengan berbagai torehan prestasi di berbagai sektor pembangunan.
Sedangkan Sohibul Iman dipilih karena memiliki kredibilitas mumpuni sebagai teknokrat dan cendekiawan yang pernah menjadi rektor Universitas Paramadina.
Political Bluffing
Pengumuman PKS mengusung pasangan Anies Baswedan-Sohibul Iman terbilang cukup mengejutkan. Sebelum ini, kabar yang beredar menyebutkan PKS tidak akan mengusung Anies, meski sebenarnya tidak ada juga pernyataan resmi dari partai terkait hal itu.
Anies sendiri justru lebih sering dikaitkan dengan PDI Perjuangan (PDIP) menjelang Pilkada Serentak 2024.
Partai berlambang bulan sabit dan padi ini lebih dulu mengumumkan nama Sohibul sebagai bacagub Jakarta pada Minggu (23/6/2024). Tapi dua hari kemudian, PKS mengunggah poster Anies-Sohibul di akun resmi medsos partai.
Analis sosio-politik Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Musfi Romdoni menyoroti keputusan PKS yang akhirnya mengusung Anies-Sohibul di Pilgub Jakarta 2024. Musfi menuturkan, ketika PKS pertama kali mengusung Sohibul Iman sebagai cagub pada akhir pekan lalu, diartikan beragam oleh banyak pihak.
Ada yang melihat itu sebagai tanda PKS ingin pisah jalan dengan Anies dan ada pula yang mengatakan PKS ditawari kursi menteri untuk melepas dukungan dari Anies.
Padahal anggapan-anggapan tersebut menurut Musfi dengan sendirinya dibantah karena memang PKS tidak pernah mengeluarkan pernyataan akan meninggalkan Anies. PKS justru memberi dua opsi, antara Anies menjadi kader PKS atau kader PKS dipilih menjadi wakil Anies di Pilgub Jakarta.
“Dengan kata lain, pengusungan Sohibul Iman adalah political bluffing atau gertakan politik. Dan benar saja, pada Selasa, 25 Juni atau dua hari setelahnya, PKS mengunggah poster Anies-Sohibul di akun medsos resmi partai. Ini menunjukkan gertakan politik yang dilancarkan PKS sukses besar,” tutur Musfi.
PDIP Dilematis
Meski merupakan partai pemenang, PKS tidak bisa mengusung pasangan Anies-Sohibul sendirian. Dengan kata lain PKS harus berkoalisi dengan partai lain.
PKS saat ini terdaftar sebagai partai dengan perolehan kursi terbanyak di Jakarta, yaitu 18 kursi. Tapi parpol harus memiliki 22 kursi di DPRD untuk bisa mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada Pilkada Jakarta 2024. Syarat tersebut tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dengan demikian, PKS masih butuh empat kursi lagi untuk bisa mengusung Anies-Sohibul sebagai Cagub dan Cawagub Jakarta 2024.
Sejauh ini, sudah ada tiga partai yang berpotensi menjalin kerja sama dengan PKS di Pilgub DKI Jakarta 2024 yaitu PKB, NasDem, dan PDIP.
Dengan situasi seperti ini, Dedi Kurnia Syah, Direktur Eksekutif dari Indonesia Political Opinion atau IPO mengatakan, agak sulit bagi mitra PKS untuk mengusung Anies-Sohibul. Ia menilai kemungkinan hanya PKB atau NasDem yang akan berkoalisi.
BACA JUGA:
“Di satu sisi PKB sudah pernah diterima PKS untuk mengusung Muhaimin Iskandar sebagai cawapres di koalisi mereka, sedangkan NasDem tidak memiliki tokoh yang cukup kuat untuk ditawarkan,” kata Dedi saat dihubungi VOI.
“Sehingga, Anies bisa diterima baik oleh PKB maupun NasDem,” imbuhnya.
Posisi dilematis justru dialami PDIP, menurut Dedi, karena sebelumnya partai yang dinakhodai Megawati Soekarnoputri ini sempat dihubungkan dengan Anies Baswedan.
“Yang menjadi persoalan memang PDIP, secara umum PDIP seharusnya layak mendapat posisi cawagub, meski PKS jauh lebih layak karena mendominasi di Jakarta. Jadi ini memang dilematis,” jelas Dedi.
“Bisa saja PDIP maju sendiri dengan bangun koalisi baru, sehingga Pilkada Jakarta akan mirip seperti di Pilpres, tetapi ini hasilnya juga akan mereplikasi Pilpres, sementara PDIP cenderung berupaya untuk kalahkan koalisi Gerindra,” ia melanjutkan.
Ketua DPP PDIP Eriko Sotarduga mengatakan bahwa tidak ada parpol yang bisa mengusung calon sendiri di ajang Pilkada Jakarta 2024. Ia meyakini keputusan PKS mengusung Anies-Sohibul masih bisa dinegosiasikan, sehingga harus mencari parpol yang mau ikut mengusung.
Menurut Dedi, PDIP bisa saja akhirnya mengalah dan merelakan kursi cawagub menjadi milik PKS. Karena pada dasarnya mereka juga memiliki kepentingan demi mengalahkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang merupakan pendukung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024. Jika hal ini terjadi, kans Anies untuk kembali memimpin Jakarta sangat besar.
"Situasinya bisa saja terbangun PDI-P mengalah untuk bergabung dengan PKS, demi kalahkan KIM, jika koalisi hanya ada gerbong, besar kemungkinan kubu Anies menang di Jakarta,” ujar Dedi.