Bagikan:

JAKARTA – Tiga dara asal Garut, Jawa Barat, deg-degan bukan main saat mengetahui mereka diundang untuk tampil di Festival Glastonbury. Setelah menghadapi berbagai rintangan sebagai band metal perempuan, kerja keras mereka selama ini akhirnya terbayar.

Voice of Baceprot, yang terdiri dari Firda Marsya Kurnia, Euis Siti dan Widi Rahmawati, mengukir sejarah sebagai band asal Indonesia pertama yang tampil Glastonbury, festival musik terbesar di Eropa. Meski sempat deg-degan saat tahu mereka diundang untuk tampil di festival lima hari tersebut, namun penampilan Voice of Baceprot sukses menghibur penonton di panggung Woodisies. 

"Menjadi band Indonesia yang main di Festival Glastonbury, menjadi band yang membuka panggung Woodsies hari itu, menjadi band berhijab yang main di sana, atau apa pun sebutan orang, kami tetap menjadi diri sendiri dan tidak ada yang dapat mengubah itu. Baceprot till die!" tulis Voice of Baceprot di akun Instagram mereka.

Undangan ini mereka dapatkan setelah perjalanan bermusik yang tidak mudah. Beranggotakan tiga perempuan berhijab, Voice of Baceprot sering dipandang sebelah mata. Mereka dianggap pembangkang dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Festival Glastonbury adalah festival lima hari seni pertunjukan kontemporer yang berlangsung di dekat Pilton, Somerset. Selain musik kontemporer, festival ini menjadi tuan rumah tarian, komedi, teater, sirkus, cabaret, dan kesenian lainnya.

“Indonesian Muslim metalheads with headscarves and heavy, heavy guitars dropping into some exotic melodies.”

Demikian laman resmi Glastonbury Festival menggambarkan Voice of Baceprot. Mereka tampil sebagai band pembuka pada 27 Juni 2024 di panggung Woodsies. Sedangkan yang menjadi highlight di festival tahun ini di antaranya Dua Lipa dan Coldplay.

Voice of Baceprot memainkan beberapa nomor lagu milik mereka termasuk God, Allow Me (Please) to Play Music.

Berawal dari Ruang Konseling

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, perjalanan Voice of Baceprot di belantika musik Tanah Air menemui berbagai rintangan sampai akhirnya mereka menghipnotis para penonton Festival Glastonbury.

Marsya dan Siti berteman sejak di bangku sekolah dasar, dan keduanya tumbuh di Singajaya, Garut.

Semasa SMP, mereka berjumpa dengan Widi. Tapi siapa sangka, awal pertemuan mereka justru terjadi di kantor guru pembimbing sekolah. Ketiganya sering dipanggil guru pembimbing karena sering dianggap sebagai pemberontak.

Tapi dari sanalah mereka mulai mendengarkan lagu-lagu metal, tepatnya dari laptop guru pembimbing yang akrab dipanggil Abah Ersa.

Abah Esra jugalah yang kemudian mendorong tiga siswa ini mengekspresikan emosi mereka lewat musik.

Voice of Baceprot menjadi band Indonesia pertama yang tampil di Festival Glastonbury. (Instagram/@voiceofbaceprot)

“Awalnya hanya menyalurkan emosi saja. Karena kami sadar kalau marah-marah, protes, pasti saja masalah. Dituduh radikal,” kata Marsya.

“Kalau di kampung kan perempuan-perempuan yang lantang udah pasti disebut gila,” sambungnya.

Singkat cerita, tiga remaja perempuan ini mulai tampil di festival musik lokal dan mengunggah aksi mereka di Facebook, di mana mereka mulai mendapatkan atensi. Voice of Baceprot juga meng-cover lagu-lagu metal dan mendapat komentar positif.

Pada 2018, Voice of Baceprot merilis single pertama bertajuk School Revolution. Tak disangka-sangka, lagu tersebut viral di media sosial.

Ditentang Lingkungan Konservatif

Tapi rupanya banyak orang gelisah dengan keberadaan Voice of Baceprot. Tidak hanya datang dari masyarakat, tapi juga keluarga terdekat mereka, yang meragukan masa depan Voice of Baceprot. Orangtua Marsya melarangnya bermain musik.

Sedangkan kakak perempuan Widi tidak mau adiknya tampil di festival musik karena dianggap hanya akan “mengacaukan masa depan”. Hal senada dilakukan keluarga Siti, yang menyebut karier bermusiknya tidak serius.

Di Garut, yang masyarakatnya mayoritas Muslim, tidak memberikan respons positif ketika Voice of Baceprot memainkan musik metal. Marsya bahkan pernah dilempar batu sambil memintanya untuk berhenti membuat “musik setan”.

Sekitar 87 persen populasi Indonesia adalah Muslim. Jawa Barat termasuk di antara provinsi yang sebagian besar penduduknya menganut Islam lebih konservatif. Salah satu wujudnya melarang musik serta nyanyian.

Penampilan Voice of Baceprot dalam Valkhof Festival di Nijmegen, Belanda pada 2022. (Wikimedia Commons)

Jadi bisa dibayangkan bagaimana pandangan mereka ketika menemukan kombinasi perempuan berhijab dan musik heavy metal.

“Bahkan beberapa orang bilang saya harus buka hijab karena musik kami tidak mencerminkan Muslim. Tapi ini adalah hal berbeda,” tutur Marsya.

“Metal hanyalah genre musik. Saya memakai hijab karena ini identitas saya sebagai Muslim. Bukan karena saya ingin mencari sensasi,” ucap Marysa saat diwawancara pada 2018.

Pada 2021, mereka merilis single God, Allow Me (Please) to Play Music, yang terinspirasi dari kritik yang mereka terima.

Sampul album Voice of Baceprot berjudul Retas, yang diluncurkan pada 13 Juli 2023. (voiceofbaceprot.com)

Pada bagian refrainnya-nya berbunyi, “I'm not the criminal, I'm not the enemy, I just wanna sing a song to show my soul… God, allow me, please, to play music.”

Band ini juga menuangkan kegelisahan mereka soal patriarki dan pandangan laki-laki, sebuah tantangan yang masih mereka hadapi sebagai musisi wanita, ke dalam lagu berjudul (Not) Public Property.

“Our body is not public property, we have no place for the dirty mind. Our body is not public property, we have no place for the sexist mind.”

“Menyedihkan ketika apa yang orang lihat bukan musik kami dan usaha yang kami lakukan. Ini benar-benar menjengkelkan,” pungkas Marsya.

Generasi Baru Musik Rock

Indonesia sendiri tidak asing dengan musik metal. Presiden Joko Widodo bahkan dikenal sebagai penggemar Metallica dan Megadeth. Indonesia juga menjadi tuan rumah Hammersonic Festival, festival musik metal terbesar di Asia Tenggara.

Hikmawan Indra Saefullah, gitaris band indie Alone at Last dari 2022-2013 dan dosen studi Indonesia University of New England mengatakan, keberadaan dan pencapaian Voice of Baceprot patut diapresiasi.

“Musik rock di Indonesia memiliki sejarah panjang serta band dan musisinya yang melegenda. Sayangnya, secara umum, ini didominasi band dan musisi pria dan hanya sedikit pemain perempuan, meski pada 1960-an dan 70-an kita punya band rock legendaris yang semuanya perempuan, Dara Puspita,” Hikmawan kepada Al Jazeera.

Karena itulah Hikmawan menyebut Voice of Baceprot sebagai generasi baru musik rock Indonesia.

“Mereka memulai karier dari bawah, dan berkembang secara dinamis. Penampilan mereka yang mengenakan hijab tidak menghentikan mereka untuk terus bermain musik rock dan metal, meski banyak orang mengkritik, terutama dari lingkungan yang konservatif,” jelasnya.