JAKARTA – Pendaftaran sekolah negeri tampaknya menjadi mimpi buruk, baik bagi calon siswa maupun orangtua. Setidaknya itulah yang terjadi dalam delapan tahun terakhir.
Pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2024/2025 di berbagai daerah sudah dimulai. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya, proses PPDB online selalu saja membuat orangtua dan peserta didik pusing.
Mulai dari server PPDB yang down sehingga tidak bisa diakses, sampai dugaan praktik kecurangan masih saja ditemukan, baik melalui jalur zonasi, prestasi, maupun afirmasi.
PPDB untuk tingkat SMA di kabupaten kota Jawa Barat mengalami kendala sejak hari pertama. Website pendaftaran PPDB tidak bisa diakses, sehingga orangtua dan calon siswa kebingungan.
Sengkarut PPDB yang sudah berulang selama delapan tahun lamanya, tidak hanya membuat orangtua kebingungan tapi juga siswa menjadi stres.
Tipu-Tipu Administrasi
Sistem zonasi merupakan upaya pemerintah untuk percepatan pemerataan mutu pendidikan. Namun pada praktiknya sistem ini masih saja ditemukan kecurangan, seperti gratifikasi, jasa titip atau jastip, jual beli kursi, manipulasi, terbatasnya jalur prestasi, sampai peta titik koordinat yang tidak akurat.
Menurut pantauan Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sampai 20 Juni 2024 terkumpul sebanyak 162 kasus dalam proses PPDB, yaitu tipu-tipu nilai di jalur prestasi 42 persen, manipulasi KK di jalur zonasi 21 persen, dan mutasi 7 persen, serta ketidakpuasan orang tua di jalur afirmasi 11 persen. Di luar itu, ada juga kasus laporan dugaan adanya gratifikasi 19 persen, ini dilakukan melalui 2 jalur gelap yang disebut jual beli kursi dan jasa titipan orang dalam.
“Kalau kita cermati, problem PPDB 2024, sama persis dengan tahun-tahun sebelumnya. Ini kasus rutin dan tahunan terjadi. Tidak ada perubahan sama sekali. Begitu pula laporan pengaduan masyarakat dan hasil pemantahuan JPPI tahun ini juga sama masalahnya,” kata Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji dalam keterangan yang diterima VOI.
“Mestinya mendiskusikan soal kemungkinan perubahan sistem PPDB yang lebih berkeadilan untuk semua. Ini penting karena masalah PPDB ini bukan soal teknis implementasi, tapi sistemnya yang masih belum berkeadilan,” jelasnya.
Menurut Ubaid, sistem yang diterapkan saat ini sangat membingungkan orangtua. PPDB sistem zonasi ternyata gagal meski jarak rumah dekat dengan sekolah. Kasus ini terjadi di Kota Bogor, yang berujung sejumlah orangtua mendatangi SMAN 3 Kota Bogor karena tidak terima dengan hasil PPDB sistem zonasi. Mereka menduga adanya kecurangan dengan trik menumpang kartu keluarga (KK) dan jarak yang lebih jauh diterima di sistem zonasi. Kejadian ini juga terjadi di daerah lain.
Di jalur prestasi pun sama. Meski calon peserta didik berprestasi namun ternyata tidak lulus juga. Kasus ini ditemukan di kota Palembang yang melibatkan 7 SMAN yang melakukan praktik maladministrasi.
“Jadi, ukurannya apa di jalur ini? Kegagalan di jalur prestasi ini juga menumpuk laporan kekecewaaan di banyak kota-kota lainnya,” ucap Ubaid.
“Belum lagi, praktik ugal-ugalan terjadi di jalur gelap via gratifikasi dan jasa titipan orang dalam. Ini melibatkan banyak pihak dan menguras banyak uang. Tahun ini, dilaporakan dugaan adanya kasus ini mulai dari angka Rp2 juta sampai Rp25 juta terjadi di berbagai daerah,” ungkapnya.
Tidak ada Pembenahan
Sistem zonasi dalam pendaftaran sekolah tidak hanya berlaku di Indonesia, melainkan di negara lain juga, termasuk Skotlandia. Bedanya, PPDB zonasi di Skotlandia jauh dari kecurangan.
Hal ini dapat terjadi karena data seluruh siswa sudah terintegrasi. Dengan demikian menutup celah manipulasi dokumen saat pendaftaran sekolah. Selain itu kualitas sekolah di Skotlandia juga merata sehingga orangtua tidak perlu memburu sekolah favorit.
Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menilai sistem PPDB zonasi sudah benar. Namun yang menjadi masalah adalah kurangnya jumlah sekolah atau kursi yang disediakan pemerintah untuk sekolah negeri.
“Selama delapan tahun masalah utamanya tidak segera dibenahi pemerintah, hanya jadi berita saja. Yang jadi masalah bukan zonasinya, zonasinya sudah betul karena layanan publik memang harus sesuai dengan tempat di mana kita tinggal,” papar Indra.
BACA JUGA:
“Yang keliru pemerintah tidak segera menambah jumlah sekolah, menambah jumlah kursi untuk bisa menampung seluruh anak Indonesia, ini yang membuat orangtua selalu rebutan,” imbuhnya.
Sistem zonasi pada akhirnya hanya membuat orangtua bingung dan frustrasi, sedangkan calon peserta didik juga merasa stres. Padahal sekolah seharusnya menjadi momen menyenangkan, tidak hanya bagi siswa tapi juga para orangtua.
Karena itu, Ubaid berharap sistem PPDB ini harus diakhiri. Sistem PPDB yang seperti ini hanya menguntungkan sekolah negeri dan mendiskriminasi sekolah swasta. Begitu pula bagi anak, menguntungkan yang lulus PPDB di sekolah negeri, sementara menyiksa orang tua yang gagal, karena harus masuk swasta yang berbiaya mahal, atau swasta berbiaya murah tapi tak berkualitas.