JAKARTA – Periode Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) telah usai, namun prosesnya tetap meninggalkan banyak pekerjaan rumah (PR). Gara-gara PPDB yang tidak berkeadilan, jutaan siswa terancam putus sekolah.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, praktik manipulasi data, karut marut sistem zonasi hingga gratifikasi juga mewarnai penyelenggaraan PPDB tahun ini.
Tapi ada satu hal yang lebih mengkhawatirkan, yaitu temuan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) soal jutaan anak Indonesia terancam tidak sekolah karena gagal lolos di PPDB negeri.
Pilihan sekolah swasta juga dinilai memberatkan ekonomi peserta didik dari kalangan kelas menengah ke bawah.
“Sementara data Kemendikbud Ristek tahun 2023, ditemukan 10.523.879 peserta didik yang terdiskriminasi di sekolah swasta karena harus berbayar,” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengatakan persoalan pelaksanaan PPDB bermuara pada sejumlah skema penerimaan siswa. Skema jalur afirmasi misalnya, yang memberi ruang pada praktik manipulasi data hingga praktik gratifikasi.
“Ketidakpatuhan pada regulasi itu, sekolah yang tidak sesuai ketentuan, hampir di setiap provinsi ada. Bahkan ada provinsi yang tidak patuh pada regulasi itu persentasenya di setiap sekolah di angka 17 persen, 13 persen, bahkan lebih tinggi dari itu,” kata ketua ORI Mokhammad Najih.
“Ini menggambarkan bahwa jalur itu bermasalah, maka perlu kita tinjau kita kembali. Jalur-jalur yang berpotensi menimbulkan penyimpangan, ketidakpatuhan pada regulasi harus semakin dikurangi,” imbuhnya.
Kecurangan di Semua Jalur
Keluhan terkait pelaksanaan PPDB dari berbagai sistem selalu terjadi di setiap tahun, sejak kebijakan ini diberlakukan secara efektif pada 2017. Pada praktiknya, ada empat jalur PPDB yang dibuka di setiap daerah, yaitu jalur zonasi, jalur prestasi, jalur afirmasi, dan terakhir jalur perpindahan tugas orangtua/wali dan/atau jalur anak guru atau tenaga kependidikan.
Jalur zonasi, yang memiliki porsi terbesar dalam jalur PPDB yaitu 50 persen, sebenarnya memiliki tujuan mulia yaitu sebagai upaya percepatan kebijakan pemerataan mutu pendidikan yang dilakukan dengan pendekatan layanan berbasis geospasial.
Dengan jalur zonasi diharapkan tercipta layanan pendidikan yang merata sehingga tidak ada lagi istilah ‘kasta’ dan sekolah favorit dalam sistem pendidikan.
Namun, dengan modus agar calon siswa diterima di sekolah favorit melalui jalur zonasi, sejumlah kecurangan ditemukan di berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari jual beli kursi, manipulasi kartu keluarga (KK), hingga penitipan calon siswa oleh pejabat daerah.
Celah PPDB tidak hanya terjadi di jalur zonasi. Di jalur prestasi muncul fenomena sertifikat abal-abal, sedangkan pemalsuan status kemiskinan juga menyeruak untuk jalur afirmasi.
BACA JUGA:
Menurut Ubaid, jalur prestasi merupakan salah satu yang paling rawan kecurangan karena tidak memiliki ukuran yang jelas.
“Jalur prestasi ini sangat gelap. Berbeda dengan jalur afirmasi yang bisa dicek melalui BPJS atau KIP, dan zonasi yang dihitung berdasarkan jarak, jalur prestasi tidak ada ukuran yang jelas,” tutur Ubaid dalam keterangan yang diterima VOI.
“Verifikasi dokumen tidak transparan, sehingga banyak orangtua kebingunan ketika sertifikat prestasi anak mereka tidak diakui,” imbuhnya.
Masalah ini diperparah dengan adanya “jalur” gratifikasi yang tidak resmi namun banyak digunakan masyarakat.
“Jalur gratifikasi ini bisa menyusup ke jalur zonasi maupun prestasi. Misalnya, jarak zonasi dapat diatur oleh sekolah atau prestasi yang tidak jelas kriterianya. Tanpa transparansi, proses ini rentan disalahgunakan,” kata Ubaid lagi.
PPDB Dianggap Rutinitas Biasa
Deretan kecurangan ini tidak hanya mengganggu mental peserta didik, tapi juga mengancam putus sekolah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, anak tidak sekolah (ATS) masih ditemukan di tiap jenjang, mulai dari SD (0,67 persen), SMP (6,93 persen), dan SMA/SMK (21,61 persen).
Sedangkan dari kalkulasi JPPI, jumlah ATS diperkirakan mencapai tiga juta anak. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tahun 2023 menyebutkan lebih dari 10,52 juta peserta didik terdiskriminasi karena mendaftar di sekolah swasta yang berbayar.
Berdasarkan fakta tersebut, menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah pusat, daerah, bahkan sekolah menganggap PPDB sebagai rutinitas biasa dan justru sesak dengan oknum yang hanya ingin meraih untung cuan musiman.
Kegagalan di PPDB negeri sehingga memaksa peserta didik sekolah di swasta berbayar dianggap memberatkan, terutama kalangan menengah bawah. Apalagi tidak jarang ditemukan kasus calon peserta didik tidak lolos jalur afirmasi meskipun mememuhi syarat memaksa memaksa mereka sekolah di swasta berbayar.
Ujung-ujungnya, mereka yang tak diterima PPDB negeri memilih tidak sekolah karena tak memiliki biaya.
“Selamatkan anak-anak yang gagal PPDB 2024, dengan menyediakan bangku di sekolah swasta tanpa dipungut biaya. Jika tidak, mereka saat ini terancam putus sekolah, karena terkendala mahalnya biaya di sekolah swasta,” Ubaid menegaskan.
“Bahkan, tak sedikit diantara mereka adalah anak-anak penerima KIP dan KJP yang gagal di berbagai jalur PPDB. Mereka ini potensial besar akan putus sekolah jika gagal masuk sekolah negeri,” pungkas Ubaid.
Ke depannya, ia berharap sistem PPDB lebih berkeadilan karena pada dasarnya semua anak memiliki hak yang sama. Jangan sampai ada istilah gagal PPDB, karena ini adalah pintu masuk anak bisa bersekolah. Kalau pintu masuknya saja sudah tidak berkeadilan, maka banyak anak yang terdiskriminasi.
Terakhir, Ubaid menekankan bahwa sekolah bebas biaya merupakan mandat dari Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan, setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib membiayainya.