JAKARTA – Rencana pemerintah mengimpor dokter asing ke Indonesia memicu pro dan kontra. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menegaskan tidak keberatan dengan kehadiran dokter asing, selama sesuai dengan regulasi dan kompetensi.
Dalam beberapa kesempatan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengungkap wacana mendatangkan dokter asing ke Indonesia. Tujuannya untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan masyarakat.
Budi menjelaskan tiga masalah dalam penyediaan SDM kesehatan di Indonesia, yaitu jumlah, distribusi, dan kualitas.
Berkaca pada rujukan Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap negara idealnya memiliki rasio 1:1000 untuk pemenuhan kebutuhan dokter. Artinya, satu dokter melayani 1.000 penduduk.
Sedangkan menurut Budi Gunadi rasio dokter umum di Indonesia baru 0,47 dari 1.000 penduduk atau di bawah standar. Jika populasi Indonesia adalah 280 juta, disebutkan Budi Gunadi, maka butuh 140.000 dokter lagi dan jika setahun lulusan fakultas kedokteran adalah 12.000 maka butuh 10 tahun untuk mencapai rasio itu.
Selain itu, Indonesia juga kekurangan sekitar 29.000 dokter spesialis yang distribusinya mayoritas terpusat di Pulau Jawa. Lalu, apakah dengan mengimpor dokter asing ke Indonesia akan menjawab permasalahan ini?
Keamanan Pasien Prioritas Utama
Mendatangkan dokter asing sebenarnya merupakan praktik yang lazim dilakukan sebuah negara, yang salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi kekurangan dokter.
Di tengah polemik terkait rencana pemerintah mengimpor dokter asing, Moh. Adib Khumaidi, selaku Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) menegaskan IDI tidak menolak kebijakan tersebut.
Menurut dia, IDI sudah seharusnya merespons kebijakan ini dengan perspektif lebih luas mengingat perkembangan global yang terjadi saat ini. Menurut Adib kebijakan memberi ruang bagi dokter asing datang dan berpraktik di Indonesia adalah sebuah keniscayaan.
“Permasalahan dokter asing ini memang menjadi sebuah fokus, artinya kami tidak dalam posisi setuju atau tidak, atau menolak atau tidak,” tegas Adib dalam Media Briefing PB IDI secara daring, Selasa (9/7/2024).
Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan sejumlah negara di Timur Tengah termasuk yang membolehkan praktik dokter asing di negara mereka. Namun, hal ini dilakukan dengan peraturan yang sangat jelas. Itulah sebabnya, Dr Adib menegaskan pentingnya kejelasan regulasi untuk melindungi warga negara.
“Semua negara membuat sebuah domestic regulation untuk pembatasan praktik dokter asing. Semua negara mempunyai kepentingan melindungi warga negaranya melalui dokter yang memenuhi persyaratan administrasi dan kompetisi,” tegasnya.
Dan bicara soal kemampuan, Dr Adib yakin dokter-dokter di Indonesia setara dengan dokter asing.
“Kalau bicara kapasitas kemampuan, dokter-dokter Indonesia sudah sangat mampu. Yakinlah bahwa dokter-dokter Indonesia tidak kalah dari dokter luar negeri,” imbuh Dr Adib.
Rencana mendatangkan dokter asing juga disoroti Ketua Divisi Standar Pendidikan Konsil Kedokteran Indonesia 2014 -2019, Sukman Tulus Putra. Ia menegaskan tidak ada penolakan dari dokter Indonesia terhadap rencana mengimpor dokter asing.
“Pada dasarnya dokter Indonesia menerima sepanjang dokter asing dapat memberikan transfer keterampilan, pengetahuan, dan sifatnya sementara. Dan kebijakan ini berlaku di setiap negara,” ucap Sukman.
Namun, tentu perlu regulasi yang jelas terkait kompetensi dokter yang akan didatangkan. Ia mencontohkan bagaimana dokter asing di Australia harus mengikuti penyetaraan atau adaptasi selama kurang lebih dua tahun terlebih dulu sebelum bisa praktik di negara tersebut.
Menurut Sukman, regulasi penting untuk melindungi rakyat.
“Ini metode yang bagus, supaya mereka mengetahui secara pasti bahwa permasalahan kesehatan di setiap negara sangat berbeda. Saya kira ini hal yang sangat wajar dan bisa kita terima,” kata Dr Sukman.
Skeptis Terhadap Anggaran
Wacana soal mendatangkan dokter asing ke Indonesia, ini bukan pertama kali terjadi. Saat pandemi COVID-19 beberapa tahun lalu, gagasan ini juga pernah diungkapkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan.
Alasannya sederhana, agar devisa negara senilai triliunan rupiah tidak lari ke luar negeri karena setiap tahunnya ada 600 ribu orang dari Indonesia yang berobat ke beberapa negara tetangga.
Keberadaan dokter asing di Indonesia sebenarnya dimuat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pada Pasal 248 ayat (1) disebutkan bahwa Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk Tenaga Medis spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
Meski program asing bukan hal baru di sejumlah negara, termasuk di negara maju, Ketua Klaster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, Iqbal Mochtar menegaskan program ini harus memiliki aturan yang ketat. Mulai dari kualifikasi pendidikan, karena dokter asing memiliki sistem dan spesialisasi berbeda.
Selain itu, ujian bahasa juga menjadi hal penting karena mereka harus berkomunikasi dengan tenaga kesehatan lainnya dan terpenting dengan pasien. Ia mencontohkan negara maju seperti Jerman dan AS menerapkan syarat tinggi kepada dokter asing terkait kemampuan berbahasa.
Dan yang tidak kalah penting, negara-negara tersebut juga melakukan uji kompetensi dan memberikan training kepada para dokter asing.
“Jadi kalau ada dokter Indonesia yang sudah super spesialis kalah ke luar negeri harus mengulang residensi dari awal, tidak bisa dia langsung melanjutkan. Ada pelatihan tambahan yang harus dilakukan sebelum bisa masuk,” tutur Iqbal.
Dalam kesempatan yang sama Iqbal juga menyebut rencana program dokter asing di Indonesia memiliki sejumlah masalah. Mulai dari landasan yang belum jelas, sampai masalah penggajian dokter asing yang sangat tinggi.
Iqbal juga menyinggung klaim Menkes Budi Gunadi Yang mengatakan ketersediaan dokter di Indonesia masih jauh di bawah standar WHO. Padahal dengan kekurangan ribuan dokter, berarti pemerintah juga harus mengeluarkan anggaran yang super besar.
BACA JUGA:
Menurutnya dokter spesialis di AS bisa mendapatkan gaji sekitar Rp400 juta sampai Rp600 juta per bulan. Dengan biaya seperti itu, Indonesia bisa menggaji sekitar empat hingga enam dokter spesialis jantung dalam negeri.
“Kalau pemerintah mau memasukkan ribuan dokter, dari mana dananya? Siapa yang menggaji dokter ini? Apakah pemerintah memiliki dana khusus?” tegas Iqbal.
Ia khawatir, jika nantinya penggajian dokter asing hanya disamakan dengan gaji dokter di Indonesia, kecil kemungkinan pemerintah mendatangkan dokter yang memiliki standar tinggi seperti di AS, Kanada.
“Lalu dokter ini mau ditempatkan di mana? Mestinya kan ditempatkan di daerah terpencil karena permasalahan di Indonesia adalah distribusi dokter yang tidak merata. Pertanyaannya apakah mereka mau?” kata Iqbal bernada tanya.