Bagikan:

JAKARTA – Semakin hari modus kekerasan seksual makin beragam, termasuk salah satunya adalah sex grooming. Pelaku sex grooming biasanya memberikan iming-iming atau memperdaya korban agar dapat memiliki kendali penuh dalam sebuah hubungan.

Kasus kekerasan seksual yang didahului iming-iming atau upaya membujuk, memperdaya korban makin marak terjadi. Hal ini umum dilakukan oleh pelaku yang memiliki kuasa, dengan korban yang biasanya anak di bawah umur. Namun menurut psikolog, sekarang ini korban sex grooming tidak selalu anak di bawah umur, melainkan juga bisa terjadi pada orang dewasa.

Belakangan ini viral kabar Muhammad Erik alias Muhammad Arifin menikahi gadis berusia 16 tahun tanpa wali karena pernikahan tersebut tidak diketahui orangtuanya. Erik atau Arifin merupakan salah satu pengurus di Pondok Pesantren Hubbun Nabi Muhammad SAW di Lumajang, Jawa Timur.

Gadis 16 tahun yang dinikahi siri pengasuh pondok pesantren di Lumajang tanpa sepengetahuan ayahnya. (YouTube Denny Sumargo)

Korban yang dinikahi mengaku diiming-imingi uang sebesar Rp300.000 dan akan dibahagiakan. Tidak hanya itu, korban juga disebut akan masuk surga jika bersedia menjadi istri siri padahal pelaku telah memiliki istri sah.

Polres Lumajang telah menetapkan Muhammad Erik sebagai tersangka setelah dilaporkan ke polisi oleh ayah korban, M, pada 14 Mei 2024, sedangkan pernikahan keduanya dilangsungkan pada 15 Agustus 2023.

Tak Hanya Anak di Bawah Umur 

Sex grooming merupakan salah satu modus kekerasan seksual yang marak terjadi akhir-akhir ini. Mengutip The National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC), grooming adalah ketika seseorang membangun sebuah hubungan, kepercayaan, dan ikatan emosional dengan anak-anak atau remaja sehingga mereka dapat memanipulasi, mengeksploitasi, dan melakukan kekerasan terhadap mereka.

Siapa pun bisa menjadi pelaku grooming, karena groomer tidak memandang usia, gender maupun ras. Guru, pemuka agama, pelatih olahraga bisa menjadi pelaku groomer, bahkan termasuk anggota keluarga terdekat.

Grooming membutuhkan waktu baik jangka pendek maupun jangka panjang, mulai dari hitungan minggu sampai tahunan, untuk memangsa targetnya.

Sementara itu, dosen psikologi Universitas Negeri Surabaya (UNESA) Nanda Audi, S.Psi. M. Psi menjelaskan istilah sex atau sexual grooming mengacu pada iming-iming yang dilakukan pelaku kekerasan seksual untuk mendapatkan kepercayaan dan kontrol atas korban. Ia mengatakan proses grooming dikemas secara manipulatif dalam menjebak korban khususnya yang berkaitan dengan aktivitas seksual.

"Biasanya istilah sex grooming awalnya dialami oleh anak di bawah umur saja, karena kurang mengerti bahaya kekerasan seksual, tetapi juga ada korban dari kalangan mahasiswa," ucap Nanda, dikutip laman resmi UNESA.

Pelaku grooming kerap menggunakan media sosial maupun pesan WhatsApp untuk melakukan pendekatan manipulatif terhadap korban. (Unsplash)

Pelaku grooming semakin leluasa melancarkan aksinya sejak media sosial berkembang pesat. Hal ini juga dikemukakan Nanda. Ia mengaku strategi pelaku grooming seringkali berawal dari media sosial terutama aplikasi kencan. Namun tidak menutup kemungkinan pelaku juga melancarkan aksinya lewat berbagai platform medsos seperti Instagram, Twitter maupun aplikasi pesan seperti Whatsapp.

Melalu media sosial tersebut, pelaku berusaha terus mendekati korban, menciptakan kesan keamanan, dan secara bertahan mengarahkan korban ke situasi yang lebih rentan.

Sederhananya, pelaku akan merencanakan strategi untuk mempersiapkan, membangun hubungan, dan memanipulasi korban dengan tujuan akhir mengeksploitasi mereka secara seksual.

“Strategi pelaku biasanya melalui perhatian khusus kepada korban, memberikan hadiah, menyediakan dukungan emosional, dan memanfaatkan kerentanan korban,” tutur Nanda.

Dampak Psikologis Korban

Grooming dapat memberikan dampak sangat buruk terhadap korbannya. Tak hanya trauma emosional, korban juga mungkin mengalami perasaan bersalah yang mendalam, malu, atau rasa takut yang memengaruhi kesehatan mental mereka secara keseluruhan.

Pemilihan korban yang cenderung lebih rentan atau tidak memiliki pengalaman dengan situasi semacam ini dapat meningkatkan dampak traumatis pada korban.

Sex grooming dalam konteks kejahatan seksual tidak hanya terjadi secara fisik, tetap juga dapat melibatkan dimensi psikologis dan digital,” ucap Nanda.

Sampai sekarang ini, sulit untuk melihat apakah seseorang dikatakan sebagai korban grooming, karena sinyal-sinyalnya tidak selalu tampak secara gamblang. Apalagi jika target pelaku adalah anak-anak, yang mungkin merasa sikap atau bujukan pelaku ini dianggap hal biasa.

Kembali ke kasus pernikahan siri gadis 16 tahun dengan pengurus pondok pesantren di Lumajang. Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar mengatakan praktik child grooming saat ini semakin mengkhawatirkan. Jika melihat percakapan terduga pelaku dengan korban, terlihat bahwa korban kesulitan menolak karena merasa pelaku adalah orang yang dapat dipercaya dan memiliki hubungan spesial.

Nahar berharap penyidik dapat menggunakan pemberatan hukuman terhadap pengasuh pondok pesantren menjadi pelaku kasus dugaan kekerasan seksual dalam perkawinan anak.

"Kami berharap penyidik dapat menggunakan Pasal 81 UU Nomor 17/2016 dengan pemberatan hukuman karena terduga pelaku sebagai pengasuh lembaga pendidikan tidak melaksanakan tanggung jawabnya dalam memenuhi hak anak dan memberikan perlindungan khusus terhadap anak," kata Nahar, dikuti ANTARA.

Kasubdit Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UNESA Iman Pasu Marganda Hadiarto Purba, S.H., M.H menyebutkan, dari aspek hukum sex grooming tidak tertulis langsung dalam undang-undang, tapi tetap merupakan bagian dari kekerasan seksual.

Pendidikan soal grooming sangat diperlukan saat ini karena perilaku manipulatif dalam hal seksual semakin marak. (Istimewa)

"Kalau kita merujuk pada Undang-Undang PPKS tentang tindak kekerasan seksual yang disebutkan bahwa kekerasan seksual itu merendahkan, melecehkan dan tidak dibenarkan dalam bentuk apapun," jelasnya.

Sebagai upaya pencegahan, sex grooming perlu menjadi perhatian bersama dan menjadi bagian dari muatan pendidikan guna meningkatkan kesadaran akan risiko seperti perhatian berlebih, pembentukan hubungan emosional yang terlalu cepat, dan pengenalan unsur seksual secara tidak pantas.

"Jaga batasan diri saat berinteraksi dengan orang yang baru terutama tidak memberikan informasi pribadi yang terlalu rinci dan hindari berbagi informasi pribadi yang terlalu detail secara publik," kata Iman menyudahi.