Bagikan:

JAKARTA – Dewan Kehormatan Penyelanggara Pemilu (DKPP) memberhentikan Hasyim Asy’ari dari jabatannya sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada Rabu, 3 Juli 2024, terkait tindak asusila. Publik kemudian bertanya-tanya soal status Gibran Rakabuming Raka sebagai calon presiden terpilih Indonesia periode 2024-2029.

Kasus Hasyim ini berawal dari laporan perempuan berinisial CAT yang bertugas sebagai Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Den Haag ke DKPP pada 18 April 2024.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy’ari selaku ketua merangkap anggota komisioner KPU terhitung sejak putusan ini dibacakan,” kata Ketua DKPP Heddy Lugito dalam siding Rabu (3/7/2024).

Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka saat blusukan di Jakarta Selatan. (VOI/Nailin In Saroh)

Dalam kasus dugaan pelanggaran etik ini, Hasyim Asy’ari dituduh menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, membina hubungan romantis, dan berbuat asusila terhadap Pengadu, termasuk di dalamnya menggunakan jabatan sebagai Ketua KPU RI.

Merespons keputusan DKPP, Hasyim Asy’ari, berterima kasih kepada dewan kehormatan yang menurut dia “telah membebaskannya dari tugas berat sebagai KPU yang menyelenggarakan pemilu.”

Status Gibran Aman

Sebetulnya ini bukan pertama kali DKPP menjatuhkan sanksi kepada Hasyim Asy’ari. Ia mendapat sanksi peringatan keras terakhir dari DKPP pada Februari 2024 karena melanggar kode etik terkait proses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. 

DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada enam anggota komisioner KPU yang terbukti melanggar etik karena memproses pendaftaran Gibran sebagai cawapres, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Setelah putusan DKPP memberhentikan Hasyim Asy’ari sebagai Ketua KPU, publik pun mempertanyakan soal status Gibran yang memenangkan Pilpres 2024 bersama Prabowo Subianto.

Pengamat politik Karyono Wibowo juga menilai pemecatan Ketua KPU Hasyim Ashari oleh DKPP tidak berpengaruh terhadap pencalonan Gibran sebagai cawapres. Ia menegaskan dari perspektif hukum, pencalonan Gibran semakin kuat pasca Putusan MK.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden terpilih Pilpres 2024. (ANTARA)

“Pencalonan Gibran hanya cacat secara etika. Sekurang-kurangnya, hal itu dibuktikan dari dua putusan yakni Putusan MKMK yang memberhentikan Anwar Usman dari jabatan Ketua MK karena terbukti melanggar etika berat,” kata Karyono kepada VOI

“Yang kedua adalah putusan DKPP yang memberikan sanksi peringatan keras terakhir kepada ketua KPU karena beberapa kali terbukti melanggar kode etik,” tambahnya.

Meski dalam perjalanan pencalonan Gibran terbukti terapat pelanggaran etik, Karyono menegaskan hal tersebut tidak serta merta membatalkan pencalonan Gibran.

“Namun demikian pemecatan Ketua KPU oleh DKPP semakin melemahkan legitimasi proses dan hasil pemilihan presiden 2024,” pungkas Karyono, yang juga Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI).

Dibawa ke Ranah Pidana

Putusan DKPP juga menjadi perhatian pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah. Ia menyayangkan putusan ini baru dilakukan sekarang dan mencurigai adanya lobi politik yang terlibat di dalamnya.

Dedi menilai putusan ini seperti mengulang putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK pada awal November 2023.

“Secara umum sanksi semacam ini seharusnya sudah dilakukan sejak Hasyim menerima sanksi berat pertamanya, tetapi lobi politik bisa saja memengaruhi,” kata Dedi ketika dihubungi.

“Keputusan ini semacam mengulang keputusan MKMK atas pemberhentian ketua MK, tidak berpengaruh dan tidak pula pula berdampak pada proses pemilihan yang sudah berlangsung,” tambahnya.

Korban kasus asusila Ketua KPU RI Hasyim Asyari, CAT (kanan), saat memberikan keterangan pers di Kantor DKPP RI, Jakarta, Rabu (3/7/2024). (ANTARA/Rio Feisal)

Menurut Dedi jika putusan ini bersandar pada skandal moral yang dilakukan ketua KPU, maka jelas ini bukan wilayah pemilihan, sehingga tidak memengaruhi hasil Pilpres 2024. Dedi menambahkan, kasus ini hanya terikat pada etika ketua KPU yang memang buruk.

Karena itulah ia mendorong agar ini menjadi langkah awal untuk membawa Hasyim Asy’ari ke sidang kasus kriminal, bukan hanya soal posisi jabatannya, melainkan status hukum yang seharusnya melekat padanya. Menurutnya, Hasyim pantas diberhentikan dari komisioner KPU, karena jelas tidak layak berada di sana.

“Meskipun putusan ini juga perlu dikritik, karena asusila semestinya tidak perlu melibatkan DKPP, tapi lebih pantas ditangani secara pidana,” ucapnya.

“DKPP akan jauh lebih potensial mengurusi etika kepemiluan, dan pada periode Hasyim sebenarnya cukup banyak kecacatan norma kepemiluan,” kata Dedi menandaskan.

Kasus yang menimpa Hasyim Asy’ari ini seakan menegaskan bahwa urusan norma dan etika makin terpinggirkan di negeri tercinta, Indonesia.