JAKARTA – Pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 tinggal hitungan bulan. Sayangnya, integritas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pilkada justru menghadapi ujian. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan Hasyim Asy’ari sebagai Ketua KPU usai terbukti melakukan tindak asusila.
Pernyataan tegas dilontarkan mantan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam), Mahfud Md. Melalui akun pribadinya di X (dulu twitter), Mahfud menilai bahwa jajaran KPU saat ini tidak layak menjadi penyelenggara Pilkada Serentak 2024.
“Secara umum KPU kini tak layak menjadi penyelenggara pilkada yang sangat penting bagi masa depan Indonesia,” demikian cuit Mahfud MD.
Menurut Mahfud, perombakan atau pergantian seluruh komisioner KPU RI patut dipertimbangkan seiring dengan akan dilaksanakannya Pilkada Serentak 2024. Meskipun, pergantian tersebut tanpa harus menunda pilkada dan membatalkan hasil pemilu yang sudah selesai diputus atau dikonfirmasi oleh MK.
“Ada vonis MK No. 80/PUU-IX/2011 yang isinya ‘jika komisioner KPU mengundurkan diri maka tidak boleh ditolak atau tidak boleh digantungkan pada syarat pengunduran itu harus diterima oleh lembaga lain’. Ini mungkin jalan yang baik jika ingin lebih baik,” terang Mahfud.
BACA JUGA:
Mantan komisioner KPU, Hadar Navis Gumay menilai, meski sering dianggap urusan personal, pelanggaran etik pejabat sebetulnya merupakan urusan publik. Terlebih, bila terkait etika penyelenggara pemilu yang berhubungan erat dengan kepercayaan publik terhadap pemilihan umum.
“Kalau pemimpinnya punya masalah, sangat bisa berdampak terhadap lembaganya,” imbuhnya.
Dia mengungkapkan, menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 KPU memiliki sejumlah hal yang perlu dibenahi usai kasus Hasyim itu menjadi perbincangan publik. Seluruh Komisioner KPU kini harus bisa mengembalikan integritas lembaga penyelenggara pemilu agar legitimasi pilkada tidak menjadi sorotan publik.
“Semua penyelenggara mulai pusat sampai tingkat daerah itu tidak bisa menganggap enteng urusan-urusan perilaku, (harus) sesuai dengan kode etik,” tukas Hadar.
Pengaruhi Citra dan Kredibiltas KPU
Direktur Eksekutif PPI, Adi Prayitno menambahkan, kasus yang menjerat Hasyim bisa memperburuk persepsi publik terhadap KPU. Sebab, integritas komisioner tersebut memang sudah berulang kali menjadi sorotan.
Dia menegaskan, kasus tersebut dapat memantik situasi tidak kondusif di masyarakat, apalagi menjelang pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. “Bagaimanapun tidak bagus jika persepsi publik jadi negatif jelang pilkada serentak,” tambah Adi.
Pakar Hukum Pemilu UI, Titi Anggraini menilai bahwa rentetan pelanggaran yang dilakukan hingga berujung pemecatan terhadap Hasyim mempengaruhi citra dan kredibilitas KPU selaku lembaga penyelenggara pemilu.
Menurut dia, rentetan pelanggaran dan sanksi terhadap Hasyim ini, juga berdampak pada legitimasi hasil pemilu yang dilakukan oleh KPU. Meskipun, dalam beberapa kasus, kasus pelanggaran yang dilakukan oleh Hasyim dilakukan secara personal.
“Dari sisi legitimasi pasti tidak terhindarkan, akan terus dikaitkan antara produk pemilu dengan integritas penyelenggara pemilunya, itu sesuatu yang tidak terhindarkan bahwa proses pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara pemilu yang anggotanya tidak berintegritas,” kata Titi.
Seperti diketahui, selain Hasyim Asy’ari, DKPP pernah memberikan sanksi peringatan keras kepada enam anggota KPU karena menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden (cawapres) di Pilpres 2024.
DKPP kembali menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada Hasyim dan Komisioner KPU Mochammad Afifuddin (yang kini menjadi Plt Ketua KPU), karena tidak menjalankan putusan PTUN Jakarta untuk memasukkan nama Irman Gusman ke Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Pemilu 2024.
Selanjutnya, DKPP lagi-lagi menjatuhi sanksi berupa peringatan kepada Hasyim dan semua anggota KPU soal kebocoran ratusan data pemilih tetap (DPT).
Titi menegaskan, putusan DKPP memecat Hasyim harus menjadi momen bagi KPU untuk segera berbenah. Apalagi, sebentar lagi KPU akan dihadapkan dengan agenda Pilkada Serentak 2024. “KPU harus segera berbenah, harus memperbaiki kinerja kelembagaan, kemudian memastikan proses pilkada, tidak mengulangi tindakan melanggar etika penyelenggara pemilu yang bisa memperburuk citra KPU,” tuturnya.
Momen ini, kata dia, juga harus menjadi peringatan bagi anggota KPU bahwa meskipun memiliki kewenangan strategis, mereka juga memiliki batasan, yakni terkait penegakan hukum dan penegakan etika.
“Ketika melakukan pelanggaran bisa jadi mereka selamat sekali, dua kali, tetapi kontrol masyarakat dan pengawasan publik akan selalu bekerja terhadap mereka, jangan sampau ada Hasyim Asy'ari lainnya di dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada kita,” tegas Titi.
Sementara Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menyatakan, putusan DKPP memecat Hasyim Asy’ari dapat menyelamatkan marwah dan citra KPU yang semakin buruk pascagelaran Pemilu 2024.
“(Putusan) Ini adalah momentum yang tepat penyelenggara pemilu kembali ke marwah dengan menjunjung tinggi etika moralitas dan keadaban,” imbuhnya.
Kelengkapan Jumlah Komisioner KPU Pengaruhi Legitimasi Pilkada 2024
Plt Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin mengapresiasi dan berterima kasih kepada pihak-pihak yang memberikan masukan dan kritikan, termasuk Mahfud Md yang menyoroti lembaganya usai pemberhentian Hasyim Asy'ari.
Dia menilai, pernyataan Mahfud merupakan ungkapan rasa sayang terhadap proses demokrasi yang berjalan di Indonesia. Karena itu, apa yang menjadi perhatian semua pihak tentu akan menjadi atensi KPU juga sebagai penyelenggara pemilu.
Afif menegaskan, pihaknya berkomitmen untuk memperbaiki kinerja yang kurang baik dan tetap mempertahankan kinerja yang sudah baik. Kritik yang dilayangkan kepada KPU merupakan pengingat untuk menjaga profesionalitas dan integritas menjelang Pilkada Serentak 2024.
“Kami melihatnya sebagai kritik dan juga sekaligus pengingat buat kita semua untuk senantiasa profesional serta menjaga integritas dari semua jajaran kita menjelang pelaksanaan pilkada,” tandasnya.
Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga berharap pencopotan Hasyim Asy'ari sebagai Ketua KPU RI karena kasus asusila tidak mempengaruhi persiapan Pilkada Serentak 2024. “Saya harap lembaganya tidak terpengaruh. Dan nanti pilkadanya bisa berjalan dengan baik,” ujarnya.
Wapres optimistis KPU tetap bisa bekerja baik ke depannya terutama dalam menyelenggarakan pilkada di seluruh Indonesia. Sebab dalam bertugas, KPU bersifat kolektif dan kolegial sehingga tidak tergantung pada satu komisioner.
“Kan tugas KPU tidak di tangan satu orang, saya yakin tugas tim bisa berjalan dengan baik,” imbuhnya.
Komisioner KPU, Idham Holik menegaskan bahwa penyelenggaraan tahapan pilkada masih sesuai dengan yang dijadwalkan dan tidak terpengaruh dengan pemecatan Hasyim Asy’ari sebagai ketua.
“Berkaitan dengan penyelenggaraan tahapan pilkada, berjalan sebagaimana mestinya. Memang KPU harus menyelesaikan tahapan itu sesuai jadwal yang telah diatur oleh KPU itu sendiri,” ungkapnya.
KPU juga terus berkonsolidasi dengan KPUD di seluruh Indonesia agar tetap fokus menjalankan rencana yang sudah disusun dan sesuai dengan jadwal pemungutan suara pilkada 27 November seperti yang tertera di laman KPU.
Titi Anggraini menjelaskan, legitimasi Pilkada Serentak 2024 akan menjadi sorotan publik bila Presiden Joko Widodo tidak segera merespons pemecatan Hasyim Asy’ari dengan menerbitkan Keppres Penggantian Antar Waktu (PAW). Sebab, proses pelaksanaan Pilkada 2024 harus ditangani oleh komisioner KPU dengan jumlah yang lengkap.
Meski pada dasarnya tidak ada larangan bagi keenam komisioner memilih ketua KPU defitinif lebih awal, kondisi ideal mengharuskan pemilihan ketua KPU definif adalah ketika jumlah komisioner sudah lengkap 7 orang.
“Bila komisioner KPU sudah kembali lengkap menjadi 7 orang lagi, maka perlu ditentukan siapa ketua KPU defitinif. Ketua KPU ini berperan penting dalam kerja kelembagaan, seperti penerbitan Peraturan KPU (PKPU) hingga konsolidasi penyelenggaraan pilkada. Walaupun Plt Ketua KPU bisa melakukan tugas yang sama, tapi kan ini soal legitimasi kelembagaan,” tutup Titi.