JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berharap pelaku kekerasan seksual terhadap anak seperti child grooming di Pondok Pesantren (Ponpes) Lumajang, Jawa Timur. Penyidik dapat menggunakan pemberatan hukuman terhadap pengasuh pondok pesantren menjadi pelaku kasus dugaan kekerasan seksual dalam perkawinan anak.
Grooming adalah proses manipulasi seksual orang dewasa terhadap korban usia anak. Nahar berpendapat dalam kasus ini, proses child grooming bisa jadi sudah berlangsung cukup lama mengingat kedekatan korban dengan terduga pelaku.
"Kami berharap penyidik dapat menggunakan Pasal 81 UU Nomor 17/2016 dengan pemberatan hukuman karena terduga pelaku sebagai pengasuh lembaga pendidikan tidak melaksanakan tanggung jawabnya dalam memenuhi hak anak dan memberikan perlindungan khusus terhadap anak," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KemenPPPA, Nahar, dikutip ANTARA, Jumat 5 Juli.
Kemudian jika kemudian terbukti pernah melakukan kejahatan yang sama, menurutnya, pelaku dapat diberlakukan hukuman lebih berat, termasuk memberikan tindakan kebiri. Pelaku berinisial ME ini telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Tersangka ME ditahan sejak Rabu 3 Juli. ME adalah pengasuh Pondok Pesantren Hubbun Nabi Muhammad di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.
Sementara korban anak sudah kembali ke keluarganya. "Padepokan sudah ditutup oleh Polres Lumajang karena statusnya tidak berizin," kata Nahar.
Sebelumnya terjadi pernikahan siri antara seorang santriwati berusia 16 tahun dengan pengasuh Pondok Pesantren Hubbun Nabi Muhammad berinisial ME pada 15 Agustus 2023. Sementara orang tua korban anak tidak mengetahui terjadinya pernikahan siri pada anaknya.
Nahar menilai , praktik child grooming saat ini semakin mengkhawatirkan dan jika melihat percakapan terduga pelaku dan korban, terlihat jelas bahwa korban sulit untuk menolak karena korban sebelumnya merasa pelaku adalah orang yang dapat dipercaya dan memiliki hubungan yang spesial.
Grooming adalah proses manipulasi seksual orang dewasa terhadap korban usia anak. Nahar berpendapat dalam kasus ini, proses child grooming bisa jadi sudah berlangsung cukup lama mengingat kedekatan korban dengan terduga pelaku.
BACA JUGA:
Menurut dia, grooming dalam permainan daring dilakukan dengan cara pelaku berkenalan dengan anak, membelikan anak ‘diamond’ ataupun ‘gimmick’ yang disediakan oleh permainan daring agar karakter anak di dalamnya menjadi lebih keren, memberikan banyak like, bercakap-cakap melalui ruang chat di dalam permainan daring tersebut hingga meminta kontak pribadi anak.
"Dengan perlakuan-perlakuan tersebut, anak menganggap bahwa pelaku adalah sosok istimewa karena dapat mengerti dan memahami anak, menjadi teman bercerita dan menjaga rahasia. Para pelaku biasa menggunakan akun palsu dengan foto profil menarik. Jika seseorang meminta informasi pribadi seperti foto, alamat rumah, nomor telepon, atau sekolah, itu bisa menjadi tanda bahaya," tambah Nahar.