Bagikan:

JAKARTA – Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng rakyat atau MinyaKita akan naik menjadi Rp15.700 per liter, setelah sebelumnya minyak goreng pemerintah itu dijual Rp14.000 per liter. Pemerintah dianggap gagal dalam mengawasi dan menjaga stabilitas harga. Masyarakat lagi-lagi menjadi korbannya.

Rencana kenaikan harga MinyakKta diungkap langsung oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Meski demikian, pria yang akrab disapa Zulhas ini memastikan MinyaKita tetap mudah diperoleh di pasaran.

“MinyaKita sudah, harganya mulai minggu depan sudah disesuaikan Rp15.700 per liter,” kata Zulhas di Masjid Kauman, Yogyakarta, Sabtu (6/7/2024).

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan secara simbolis memberi keterangan kepada awak media, di Kantor Kementerian Perdagangan, di Jakarta, Rabu (19/6/2024). (ANTARA/Harianto)

Kenaikan harga minyak goreng bersubsidi hanya satu dari sederet kebijakan pemerintah yang dinilai makin mencekik masyarakat, khususnya kelas menengah dan calon kelas menengah.

Petani Tak Terdampak

MinyaKita merupakan salah satu terobosan yang dilakukan Mendag Zulkifli Hasan. Ia berinisiatif mengemas minyak goreng curah agar proses distribusi ke masyarakat lebih mudah.

Zulhas kemudian meluncurkan produk minyak goreng curah kemasan MinyaKita di Kantor Pusat Kementerian Perdagangan, Jakarta, pada 6 Juli 2022. MinyaKita dirilis sebagai upaya mengguyur minyak goreng di pasaran yang ketika itu tengah langka. Selain itu, ini adalah upaya pemerintah memberikan minyak goreng dengan harga terjangkau ke masyarakat.

Awalnya, MinyaKita dirilis khusus untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah dan usaha mikro untuk meredam kenaikan harga pangan yang bergantung pada minyak goreng.

Namun seiring berjalannya waktu, minyak goreng MinyaKita yang awalnya dipatok Rp14.000 per liter, kini tembus Rp15.000 sampai Rp16.000 per liter di sejumlah daerah atau mengalami kenaikan di atas HET.

Sebelumnya, Direktur Bahan Pokok dan Barang Penting Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Bambang Wisnubroto, mengaku kenaikan harga MinyaKita terjadi karena pasokan domestic market obligation (DMO) yang minim.

Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit di kebun milik salah satu perusahaan kelapa sawit di Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Kamis (11/11/2021). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/tom)

Sementara itu, rencana pemerintah menaikkan HET MinyaKita tidak akan berdampak terhadap produksi crude palm oil (CPO) atau minyak sawit mentah petani di Provinsi Riau.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Riau Lichwan Hartono menjelaskan naiknya HET MinyaKita tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap produksi CPO di daerah itu.

"Kenaikan HET MinyaKita tidak ada pengaruhnya terhadap naik atau turunnya produksi TBS maupun CPO," ungkapnya.

Senada dengan Lichwan Hartono, ekonom Universitas Riau Edyanus Herman Halim juga mengatakan kebijakan pemerintah menaikkan HET MinyaKita tidak akan berdampak pada harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang diterima petani.

“Kenaikan HET minyak goreng MinyaKita ini dilihat dulu sebabnya apa, kalau untuk menekan anggaran subsidi yang dikeluarkan pemerintah itu tidak ada pengaruhnya terhadap harga TBS, hanya akan mengembalikan harga jual minyak goreng kepada mekanisme pasar,” kata Halim.

Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). (ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww)

Melihat kebijakan saat ini, menurut Halim, yang paling berdampak adalah konsumen akhir karena harganya yang terus meroket. Padahal di awal kemunculannya MinyaKita adalah penjaga dan penstabil harga minyak goreng di dalam negeri.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan jika harga MinyaKita turut naik, berarti pemerintah gagal dalam mengawasi dan menjaga stabilitas harga.

Pendapatan Stagnan

Naiknya HET minyak goreng rakyat MinyaKita oleh pemerintah juga semakin memojokkan posisi kaum kelas menengah di Indonesia.

Menurut Bank Dunia, kelompok ekonomi masyarakat bisa dibagi beberapa kelompok berdasarkan jumlah pengeluaran per bulan. Mulai dari kelas miskin yang pengeluarannya kurang dari Rp354.000 per bulan, kelas rentan dengan pengeluaran Rp354.000 sampai Rp532.000 per bulan, sementara calon kelas menengah pengeluarannya Rp532.000 sampai Rp1.200.000 per bulan.

Terakhir, ada kelas menengah dan kelas atas yang masing-masing pengeluarannya Rp1.200.000 sampai Rp6.000.000 per bulan dan lebih dari Rp6.000.000 per bulan.

Dari pengelompokan berdasarkan jumlah pengeluaran setiap bulan, kelas menengah dan calon kelas menengah termasuk ke dalam kelas pendapatan menengah ke bawah.

Masyarakat kelas menengah dan calon kelas menengah menjadi kelompok paling rentan di tengah terus melonjaknya harga kebutuhan pokok. (Dok. SCBD)

Kelompok menengah ke bawah paling mendominasi di populasi Indonesia, yaitu sebesar 69,05 persen. Kelompok kelas menengah dan calon kelas menengah ini lah yang paling terguncang ketika kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Mereka bahkan bisa terancam turun kelas.

Menurut survei konsumen Bank Indonesia pada Mei 2024 dibandingkan bulan sebelumnya, proporsi pendapatan untuk konsumsi mengalami penurunan dari 73,6 persen menjadi 73 persen, sedangkan proporsi pendapatan untuk membayar utang atau cicilan meningkat dari 9,7 persen menjadi 10,3 persen. Proporsi pendapatan untuk disimpan atau ditabung stagnan alias tidak mengalami perubahan, yaitu 16,6 persen.

Berdasarkan survei tersebut, pengeluaran untuk tabungan juga terus menurun dari tahun ke tahun. Dari 20,3 persen pada 2017 menjadi hanya 15,7 persen pada 2023.

Di sisi lain, jumlah pendapatan yang digunakan untuk membeli kebutuhan primer melonjak. Pada Januari 2023, jumlah pendapatan yang dipakai untuk kebutuhan pokok hanya 13,9 persen, tapi angka ini melonjak jadi 26 persen pada Mei 2024.

Itu artinya, kenaikan harga bahan pokok membuat pengeluaran makin besar, yang berdampak pada melemahnya daya beli. Sayangnya kenaikan harga bahan pokok tidak diimbangi laju pendapatan. Ujung-ujungnya, jumlah tabungan yang dimiliki kelas menengah cenderung stagnan bahkan tidak jarang ikut ludes untuk memenuhi kebutuhan sehari hari.

Fenomena ini membuat kelas menengah dan calon kelas menengah termasuk kelompok rentan. Jika melihat pendapatan, kelompok ini tidak lagi pantas menerima bantuan sosial pemerintah namun di sisi lain penghasilan mereka juga dianggap tidak sebanding dengan pengeluaran yang makin besar akibat mahalnya harga kebutuhan pokok.

Kenaikan HET minyak goreng rakyat MinyaKita bakal membawa efek domino dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.