JAKARTA – Kasus kematian atlet bulu tangkis China, Zhang Zhijie, pada turnamen di Yogyakarta menjadi perhatian khalayak. Dokter ahli jantung menyebut penanganan tim medis terhadap Zhang Zhijie terlambat.
Dalam video yang banyak beredar di media sosial menunjukkan Zhang Zhijie, 17 tahun, jatuh dan mengalami kejang-kejang pada pertandingan melawan atlet Jepang, Kazuma Kawamo, di babak penyisihan BNI Badminton Asia Junior Championships 2024 di GOR Amongrogo, Yogyakarta, Minggu (30/6/2024).
Sesaat setelah jatuh, pelatih di pinggir lapangan berusaha membantu Zhang Zhijie tapi dia tidak bisa berbuat apa pun karena larangan dari wasit, yang mengikuti peraturan Federasi Bulu Tangkis Dunia (BWF). Baru 40 detik kemudian Zhang mendapat pertolongan pertama karena tim medis menunggu izin dari wasit.
Lalu butuh waktu 20 detik bagi tim medis dari pertama kali masuk ke lapangan hingga memutuskan membawa ke rumah sakit.
Untuk diketahui, perjalanan Zhang ke rumah sakit berjarak 4,7 km dan memakan waktu 10 menit. Barulah ia menjalani pijat jantung luar disertai alat bantu napas karena tidak ada napas spontan. Zhang dinyatakan meninggal dunia di malam harinya akibat henti jantung mendadak.
Kasus ini, khususnya soal keterlambatan penanganan tim medis karena memenuhi aturan, mengundang kecaman di media sosial. Sebuah komentar “mana yang lebih penting, aturan atau nyawa seseorang?” di platform media sosial China, Weibo, disukai ribuah orang.
Banyak Dialami Atlet
Kasus atlet kolaps di lapangan bukan hanya dialami Zhang Zhijie. Legenda bulu tangkis Indonesia, Markis Kido, meninggal dunia pada 14 Juni 2021. Sebelum meninggal, peraih emas Olimpiade ini sedang bermain bulu tangkis bersama mantan atlet lainnya, Candra Wijaya, di kawasan Tangerang.
Diceritakan Candra, Kido jatuh saat pindah tempat setelah bermain setengah set. Meski dibawa ke rumah sakit terdekat, nyawa Markis Kido tidak tertolong.
Hal serupa juga terjadi di cabang olahraga lainnya. Di sepak bola, Antonio Puerta kolaps dan tidak sadarkan diri di area penalti akibat serangan jantung saat membela Sevilla melawan Getafe pada 25 Agustus 2007.
Setelah mendapat perawatan medis dan sadar, Puerta berjalan ke ruang ganti, namun ia kembali kolaps. Puerta dilarikan ke rumah sakit dan menerima perawatan resusitasi dari dokter. Ia dinyatakan meninggal dunia pada 28 Agustus setelah didiagnosis menderita kegagalan banyak organ dan kerusakan otak permanen akibat serangan jantung berkepanjangan.
Tapi insiden yang mungkin paling diingat publik adalah saat Christian Eriksen tiba-tiba jatuh di pertandingan penyisihan grup Euro 2020 saat Denmark menjamu Finlandia di Parken Stadium, Copenhagen, 12 Juni 2021.
Dua menit sebelum turun minum, Eriksen kolaps di lapangan dan sempat mendapat resusitasi jantung paru (CPR) dari petugas medis dengan memompa dada mantan penggawa Tottentan Hotspur tersebut.
Eriksen ditandu ke luar lapangan dalam kondisi sudah sadar dan dilarikan ke rumah sakit. Setelah menjalani perawatan, kondisi Eriksen berangsur pulih dan sekarang ia masih berseragam Manchester United.
Pertolongan Datang Terlambat
Menurut sejumlah kalangan, ancaman kesehatan terhadap jantung sangat beragam dan brisiko dialami oleh sejumlah orang yang memiliki riwayat penyakit jantung.
Namun dalam sebuah wawancara setelah comeback ke sepakbola, Eriksen mengatakan ia dan keluarganya tidak memiliki riwayat masalah jantung. Dan, seperti pesepakbola papan atas lain, kondisi Eriksen selalu dicek sepanjang kariernya.
Menurut dokter spesialis jantung Rumah Sakit Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Habibie Arifianto, mengatakan Eriksen kemungkinan besar mengalami cardiac arrest atau henti jantung. Ini terjadi karena adanya penebalan otot jantung yang tidak normal atau yang dalam istilah medis disebut kardiomiopati hipertrofi.
“Bukan merupakan serangan jantung. Kardiomiopati hipertrofi diakibatkan oleh adanya jaringan ikat pada otot jantung, hal ini berakibat otot jantung menjadi sangat tebal dan berisiko mengalami gangguan irama pada saat aktivitas yang berlebihan, dalam hal ini olahraga, hingga mampu memicu henti jantung mendadak,” jelas Habibie, dikutip laman UNS.
“Risiko serangan jantung bagi atlet sama dengan risiko serangan jantung atau henti jantung mendadak pada populasi umum. Apalagi bagi yang sudah ada faktor risiko penyakit jantung koroner atau risiko keluarga dengan henti jantung mendadak,” ujarnya.
BACA JUGA:
Menyoroti kasus yang dialami Zhang, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia, dr. Radityo Prakoso SpJP(K) menuturkan, bantuan hidup dasar ke seseorang yang mengalami henti jantung sangat penting dan dapat meningkatkan peluang hidup.
Pertolongan bisa dilakukan baik dengan CPR atau dengan alat Defibrilator Eksternal Otomatis (AED).
”Jadi dengan AED...dia sangat meningkatkan survival pada menit-menit pertama. Tapi kalau seandainya tidak ada, dengan melakukan hands-only CPR, ini sudah bisa sangat-sangat membantu untuk mengembalikan pasien yang kolaps,” papar Radityo.
Radityo menenekankan pentingnya untuk melakukan pertolongan hidup dasar dengan segera. Karena jika terlambat berpotensi membuat penderita mengalami kerusakan permanen di otak tanpa adanya sirkulasi.
“Jadi kalau [tim medis] sudah menyaksikan henti jantung, dia [Zhang] harus cepat ditolong. Kalau ditunggu 40 detik, survival rate-nya akan turun. Jadi terlambat," ujar Radityo.
Terkait waktu yang dibutuhkan untuk menolong Zhang Zhijie dari mulai di lapangan sampai ke rumah sakit menurut Radityo terlalu lambat.
“Pasti sudah permanently damaged, jadi terlambat. Jadi intinya adalah bagaimana memfasilitasi bahwa seluruh masyarakat harus mengetahui bantuan hidup dasar atau basic life support,” kata Radityo.
“Ini adalah PR kita bersama di Indonesia. Ini tamparan juga,” kata Radityo menyudahi.