JAKARTA – Pegi Setiawan dinyatakan bebas setelah permohonan gugatan sidang praperadilan oleh tim kuasa hukumnya terhadap Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat dikabulkan Pengadilan Negeri (PN) Bandung. Putusan praperadilan Pegi sudah sepatutnya menjadi bahan introspeksi, karena dengan kasus ini kepercayaan publik terhadap polisi makin menyusut.
Hakim Tunggal Eman Sulaeman dalam sidang putusan di PN Bandung mengatakan penetapan Pegi Setiawan sebagai tersangka pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky atau Eki pada 2016 oleh Polda Jabar tidak sesuai prosedur dan tidak sah menurut hukum yang berlaku.
"Mengadili mengabulkan praperadilan proses penetapan kepada pemohon atas nama Pegi Setiawan dinyatakan tidak sah dan dibatalkan demi hukum," kata hakim tunggal Eman Sulaeman dalam sidang putusan di PN Bandung, Senin (8/7/2024).
Dengan demikian, hakim memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan kepada pemohon, sekaigus melepaskan pemohon dan memulihkan harkat martabat seperti semula.
Dengan dibebaskannya Pegi Setiawan, maka kinerja Polri semakin diragukan masyarakat, menurut pengamat kepolisian.
Kinerja Polri Semakin Diragukan
Insiden pembunuhan Vina dan Eky yang terjadi delapan tahun lalu di Cirebon kembali ramai diperbincangkan. Salah satunya karena tiga pelaku yang masih menjadi buronan polisi. Desakan untuk menangkap tiga buron ini pun digaungkan publik setelah kemunculan film Vina: Sebelum 7 Hari.
Polisi mengaku kesulitan menangkap tiga buron karena tidak ada identitas yang jelas dari ketiganya. Namun kemudian polisi meralat bahwa buronannya bukan tiga, melainkan hanya ada satu.
Singkat cerita, ditangkaplah Pegi Setiawan di Bandung pada 21 Mei malam. Direktur Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Surawan mengatakan, Pegi bekerja sebagai buruh bangunan di Bandung saat ditangkap.
Namun penangkapan Pegi justru menimbulkan tanya. Polisi dinilai hanya bertindak cepat setelah desakan dari masyarakat mengalir deras. Di sisi lain, Pegi bersikeras tidak terlibat dalam pembunuhan yang menggegerkan publik.
Menurut kuasa hukum Pegi, Sugianti Irani, penetapan tersangka dinilai janggal karena tidak ada penetapan pengadilan ketika polisi menggeledah dan menyita beberapa barang bukti di rumah Pegi di Cirebon pada 22 Mei 2024.
Dan, setelah PN Bandung mengabulkan gugatan praperadilan Pegi, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto menilai kinerja polri akan semakin diragukan.
"Artinya publik akan semakin meragukan kinerja dan hasil kerja penyidik kepolisian ke depan," kata Bambang Rukminto, mengutip Kompas.
Dituturkan Bambang, kewenangan yang besar tanpa kontrol dan pengawasan yang ketat serta sistem yang transparan dan akuntabel berdampak terjadinya abuse of power atau penyalahgunaan kewenangan dalam penetapan seseorang menjadi tersangka.
BACA JUGA:
Hal ini terjadi karena penyidik kepolisian tidak profesional dengan mengabaikan standar operasional prosedur (SOP) dan scientific crime investigation (SCI).
Penyidik yang tidak profesional menurut Bambang, merugikan banyak pihak, termasuk Pegi Setiawan. Untuk itu, ia mendorong Polri mengaudit proses penyidikan yang dilakukan Polda Jabar sejak awal kasus terjadi. Selain itu, ia juga meminta Polri melakukan pemeriksaan pada penyidik Polda Jabar yang melakukan penangkapan Pegi.
"Segera melakukan penangkapan pada pelaku otak pembunuhan yang sebenarnya. Memberi sanksi bagi oknum yang terlibat dan menganulir promosi oknum-oknum yang melakulan kesalahan," ujar dia.
Nasib Delapan Terpidana yang Ditahan
Sementara itu, psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menegaskan masalah kasus pembunuhan Vina belum sepenuhnya tuntas meski Pegi telah bebas. Kepada VOI, Reza merinci sejumlah permasalahan yang perlu dituntaskan setelah putusan PN Bandung.
Pertama saksi Aep yang dianggap memberikan keterangan palsu diproses secara hukum. Menurut Raza, keterangan Aep adalah yang paling merusak pengungkapan fakta.
“Persoalannya, keterangan palsu (false confession) Aep itu datang dari mana? Dari dirinya sendiri ataukah dari pengaruh eksternal? Jika dari pihak eksternal, siapakah pihak itu?” kata Reza.
Selain itu, Reza mengatakan, dengan status Pegi yang kini bebas berarti mematahkan narasi Polda Jabar yang menegaskan bahwa Pegi Setiawan adalah sosok yang mengotaki pembunuhan berencana berimplikasi serius terhadap nasib delapan terpidana yang ditahan.
“Bagaimana otoritas penegakan hukum dapat mempertahankan tesis bahwa kedelapan terpidana itu adalah kaki tangan Pegi?” ucapnya.
“Benarkah mereka pelaku pembunuhan berencana, ketika interaksi masing-masing terpidana (selaku eksekutor) dengan Pegi (selaku mastermind) ternyata tidak pernah ada?” Reza menambahkan.
Lebih lanjut Reza menyoroti kerja scientific Polda Jabar yang selama ini dibahas sebatas terkait DNA, CCTV, dan otopsi mayat. Reza menyebut dirinya terus mendorong eksaminasi terhadap scientific investigation Polda Jabar pada 2016.
"Saya mencatat ada satu hal yang belum pernah diangkat. Yakni, bukti elektronik berupa detil komunikasi antarpihak pada malam ditemukannya tubuh Vina dan Eky di jembatan pada 2016," katanya.
Ini juga termasuk komunikasi via gawai yang masing-masing korban lakukan dengan pihak-pihak yang dikenal.
“Siapa, dengan siapa, tentang apa, jam berapa. Itulah hal-hal yang semestinya secara rinci diperlihatkan sebagai alat bukti. Sekali lagi: siapa menghubungi siapa terkait apa pada jam berapa,” kata Reza menyudahi.