Bagikan:

JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal ini Komisi V meminta kementerian yang berkaitan dengan pemindahan ibu kota negara tetap mempertahankan kearifan lokal Kalimantan Timur dan daerah penyangga. DPR tidak mau kehadiran ibu kota baru merusak budaya dan kekhasan daerah.

Kearifan lokal sebagai identitas bangsa sudah seharusnya dipertahankan, tak terkecuali dengan budaya Kalimantan. Ketika suatu daerah menjadi pusat pemerintahan, tidak dapat dipungkiri akan terjadi akulturasi budaya yang tinggi. Mampukah kearifan lokal pulau Borneo ini bertahan?

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah menilai, akan sulit mempertahankan kearifan lokal ketika sudah menjadi ibu kota. Sebab, secara natural masyarakat akan mengikuti kebudayaan yang dibawa oleh pendatang.

Trubus mengatakan, untuk tetap bisa mempertahankan kearifan lokal dalam konteks kebudayaan dibutuhkan peran pemerintah. Sebab, tidak hanya infrastruktur yang harus diperhatikan pembangunnya. Namun, juga keberlangsungan budaya.

"Bagaimana cara mempertahankannya? Negara harus memberikan satu lahan atau satu tempat untuk cagar budaya. Kalau tidak (kearifan lokal) akan hilang, mereka akan tergerus modernisasi," tuturnya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Senin, 25 November.

Mempertahankan kearifan lokal suatu daerah tanpa bantuan pemerintah, akan sangat sulit. Masyarakat daerah, kata dia, juga harus berperan dalam menjaga kearifan lokal tersebut.

"Enggak yakin bisa. Masalahnya budaya masyarakat Dayak sendiri kan nanti akan berproses, dinamis. Nah generasi sekarang bisa mempertahankan. Generasi berikutnya? Kan belum tentu. Saya kira berat untuk mempertahankan (jika masyarakatnya juga tidak peduli)," jelasnya.

Trubus memberi contoh, Jakarta yang suku aslinya adalah Betawi saja bisa tersingkir ke pinggir dengan akulturasi yang tinggi. Seiring zaman, tak dapat dipungkiri bahwa deretan kebiasaan masyakarat Dayak juga akan terkikis.

"Otomatis kan pendatang ini membawa moderenisasi. Artinya membawa pengetahuan-pengetahuan yang baru. Akan terseleksi dengan sendirinya. Karena itu, kearifan lokal ini bisa bertahan jika dikemas dengan sentuhan modernisasi. Misalnya dengan pertunjukan tari-tariaan. Pameran kebudayaan yang dikemas menarik, sehingga ciri khas budaya setempat tidak hilang," jelasnya.

Tersingkir dari Rumah Sendiri

Seperti diketahui, dibandingkan kebudayaan lain, budaya Betawi justru tersingkir meski berada di 'rumahnya' sendiri. Kebudayaan ini tersingkir ke pinggiran Jakarta seperti Bogor, Tangerang, Bekasi. Kemajuan zaman membuat kebudayaan asli Betawi ditinggalkan.

Tergerus sejak dua atau tiga dekade belakangan bukan waktu yang singkat, banyak budaya Betawi yang terancam hilang, seperti rumah adat, pakaian, tarian, musik, permainan tradisional bahkan ikon Betawi ondel-ondel.

Hal itu tidak bisa dipungkiri, zaman menjadi tantangan besar bagi seluruh kearifan lokal. Dalam hal ini, budaya Betawi menjadi salah satu yang menerima dampak paling besar karena berada di pusat ibu kota negara, pintu masuk utama perubahan zaman serta budaya asing ke Tanah Air.

Beberapa ritual budaya yang lekat selama ini dalam kegiatan perhelatan perlahan hilang dengan alasan pemilihan model yang simpel dan mengikuti budaya kekinian dianggap lebih menarik. Perkembangan zaman, tepatnya teknologi juga menggerus permainan tradisional anak, penampilan tarian, musik, dan teater budaya.

Sejarawan JJ Rizal menilai, kedatangan orang-orang bersama kebudayaannya ke Jakarta sebagai ibu kota justru memperkaya bukan memiskinkan. Namun, kata dia, tetap ada persolaan besar yang dialami Jakarta. Di mana kearifan lokal harus mampu beradaptasi dengan modernisasi.

"Ini ada persoalan besar karena namanya ibu kota dan pusat modernitas. Ada kontestasi antarkebudayaan, antarproduk-produk kebudayaan dalam konteks ini. Misalnya kesenian atau bagaimana keroncong harus bersaing dengan rap di hari ini," ujarnya, seperti dikutip dari liputan6.com.

"Itu bisa menimbulkan kekalahan dan akhirnya kepunahan pendukungnya beralih ke pendukung musik yang modern atau keroncong dimodernisasi atau gambang kromong-nya dimodernisasi," sambungnya.

Rizal mengatakan, banyak sekali kemungkinan yang dapat diterapkan untuk melihat bagaimana cara kebudayaan itu tetap hidup di tengah kencangnya arus kemajuan zaman.