Bagikan:

JAKARTA - Dinamika yang terjadi di industri musik tak melulu soal persaingan di chart atau berapa penghargaan yang dikoleksi. Zaman dan teknologinya turut menjadi faktor yang menantang bagi para musisi.

Setiap zaman, tantangannya tentu berbeda-beda. Di era analog, hanya orang-orang tertentu yang dapat akses rekaman hingga manggung di televisi. Selama beberapa dekade, TV dan radio masih jadi pemain utama dalam hal promosi musik.

Di era 2010an, pembajakan jadi musuh bersama karena merugikan label dan musisi. Di era ini, penikmat kaset mungkin sering dapat ejekan ketinggalan zaman. Namun beberapa tahun terakhir, punya kaset atau CD musik justru bisa jadi cara flexing yang elegan. Semua tergantung zaman.

Di masa kini, tantangannya beda lagi. Isu pembajakan tak lagi jadi musuh utama, tapi penyebabnya belum tentu hal positif. Kini karya bisa disebar secara digital, meski upah kreatif yang diberikan bisa dibilang sangat minim.

Belum lagi kemudahan teknologi dan platform, membuat semua orang kini bisa merekam dan mengunggah lagu mereka sendiri sebagai single, EP sampai album penuh. Tren terus berjalan dan berganti, seperti tak ada ruang untuk menikmati karya-karya indah dengan lebih santai karena banyak yang baru dan berkualitas bermunculan, yang sayang untuk dilewatkan.

Alih-alih bergantung pada televisi, kini para musisi punya tantangan untuk eksis di media sosial. Memang bukan yang paling utama, tapi gaung yang tercipta di platform digital tentu memberi pengaruh atas relevansi karya mereka.

Mereka yang berhasil menyinergikan kemampuan sebagai kreator musik dan konten di medsos pun merasakan dampak positifnya. Kini, ketimbang hanya membagikan jadwa manggung, media sosial jadi sarana interaksi yang ampuh.

Bagaimanapun, medsos hanya etalase untuk membagikan konten dan identitas yang dimiliki seorang artis atau dalam hal ini, musisi. Karya tetap jadi komoditas utama yang perlu di-marketing-kan dengan cara yang relevan dengan zaman.