Bagikan:

JAKARTA - Aksi polisi menebar kekerasan telah membuat banyak rakyat Indonesia resah sejak era Orde Baru (Orba). Kasus penembakan Rene Louis Conrad, misalnya. Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) itu tak hanya dikeroyok taruna Akademi Kepolisian. Ia ditembak mati. Rakyat berduka, tapi keadilan tak kunjung tegak. Meski sudah ada yang ditetapkan sebagai terdakwa, ada yang bilang pembunuh sebenarnya masih abu sampai detik ini.

Semua bermula dari kisruh larangan rambut gondrong. Di era Orba rambut gondrong laksana sebuah dosa besar. Soeharto melihat pemuda berambut gondrong sebagai suatu pembangkangan. Perspektif itu diambil karena Orba mengidentikkan rambut gondrong sebagai produk impor atau kebarat-baratan.

Rambut gondrong tak sama sekali mencerminkan budaya bangsa. Karenanya, demi menyelamatkan anak bangsa dari sentuhan budaya luar, rambut gondrong mulai dilarang pada 1966.

Upaya anti orang gondrong yang dilakukan oleh Orba tak main-main. Tenaga Polri dikerahkan untuk memutus mata rantai pemuda berambut gondrong. Polisi kerap merazia mereka yang memiliki rambut gondrong.

Dalam pelaksanaannya di Bandung, polisi juga melibatkan taruna Akademi Kepolisian Sukabumi sebagai tenaga tambahan menegakkan aturan. Sebab, pemuda rambut gondrong sering dianggap sebagai pembuat onar dan onverschillig (acuh tak acuh). Empunya rambut gondrong bahkan dikriminalisasi tak mendapatkan akses layanan publik.

“Orang orang yang berambut gondrong tidak diperkenankan mendapat layanan di institusi-institusi negara. Di kepolisian, misalnya. Pengurusan SIM, izin pertunjukkan, izin rapat, atau surat keterangan bebas G30S tidak akan dilayani apabila yang mengajukan masih berambut gondrong,” ungkap Aria Wiratma Yudhistira dalam buku Dilarang gondrong!: Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an (2010).

Perlakuan semena-mena Orba menuai kritik. Kaum muda, khususnya pelajar dan mahasiswa terus mengecam tindakan pemerintah yang justru mengurusi urusan remeh seperti rambut gondrong. Padahal, kala itu kondisi negara sedang berada dalam kondisi tak baik-baik saja.

Kaum muda menganggap banyak persoalan-persoalan lainnya yang lebih penting. Apalagi korupsi telah merajalela, kenaikkan BBM yang membuat rakyat sengsara, hingga ketiadaan transparansi pemerintah dalam menjalankan proyek mercusuar, seperti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah.

Pawai Mahasiswa mengantar jenazah Rene Conrad | Istimewa

Bagi mahasiswa, pelarangan rambut gondrong tak ubahnya sebagai pelanggaran hak-hak asasi perseorangan. Aksi pengguntingan rambut gondrong di kalangan pelajar dan mahasiswa disinyalir oleh banyak pihak sebagai bukti pemerintah Orba berpikir sempit. Alias langkah yang diambil jauh dari kata efektif.

Pemerintah hanya cenderung pamer kekuasaan, dibanding menyelesaikan masalah. lantaran itu cara pemberantasan rambut gondrong disamakan dengan cara pemberantas penjahat atau kriminal adalah opsi sembrono. Pun tidak manusiawi.

“Tanpa ampun gunting mereka beraksi memotong rambut korban razia walaupun para korban ini memprotes. Selain pelajar dan mahasiswa, ada asisten dosen ITB yang juga jadi korban. Pihak kepolisian, telah menggeneralisir bahwa mereka yang berambut gondrong dengan sendirinya kriminal,” tulis Rum Aly dalam buku Menyilang Jalan Kekuasaan Militer Otoriter (2004).

Pertandingan persahabatan

Ketegangan antara mahasiswa dan polisi di Bandung memuncak. Pihak mahasiswa beserta dosen ITB mulai mengecam aksi anti orang gondrong. Kaum mahasiswa membalas aksi anti rambut gondrong dengan menginsiasi gerakan: anti orang gendut.

Gerakan itu dibuat untuk menyindir langsung pemerintah yang kebanyakkan berisi pejabat berperut gendut. Gerakan itu berlanjut dengan bentrokan-bentrokan kecil antara mahasiswa dengan taruna Akademi Kepolisian Sukabumi angkatan 1970. 

Kapolri Hoegeng Imam Santoso (Sumber: Wikimedia Commons)

Tensi panas itu langsung sampai ke telinga petinggi polisi. Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, Gubernur Akpol Irjen Awaludin Djamin, dan segenap civitas ITB hingga perguruan tinggi seluruh Bandung berkumpul untuk mencari solusi. Setelahnya, Polri berinisiatif mengadakan pertandingan sepak bola persahabatan, antara mahasiswa ITB dan taruna Akademi Kepolisian. Demi mengakhiri perseteruan, katanya.

Pertandingan persahabatan kemudian diselenggarakan di lapangan sepakbola di tengah kampus ITB pada 6 Oktober 1970. Tim tuan rumah mengungguli taruna Akademi Kepolisian 2-0. Keunggulan 2-0 itu membuat supporter tuan rumah merasa di atas angin.

Mereka kemudian banyak mengeluarkan unek-unek berupa sindirian pedas kepada taruna polisi yang yang menjadi penonton dan menjadi keamanan pertandingan. Bentrokan pun tak bisa dihindari. Provos-provos taruna segara mencoba menertibkan penonton dengan sabetan-sabetan Koppel rim (ikat pinggang militer).

Pertandingan terus berlajut walau terdengar suara tembakan pistol. Kemenangan pun berada dalam genggaman tim ITB. Para taruna akhirnya segera diusir oleh panitia untuk kembali ke truknya masing-masing karena melanggar aturan: bawa senjata api.

Tertembaknya Rene Conrad 

Nyatanya para taruna Akademi Kepolisian tidak langsung pulang. Mereka memang telah meninggalkan halaman kampus, namun kemudian berhenti di jalan Genesha depan kantin Asrama F mahasiswa ITB. Nahas, seorang mahasiswa jurusan pertambangan ITB bersama temannya lewat di depan truk yang membawa taruna.

Mahasiswa yang mengendarai Harley Davidson itu lalu terlibat caci-maki dengan para Taruna. Tampaknya dendam dengan mahasiwa pasca bentrokan masih mengganjal di hati tiap taruna. Akhirnya, mahasiswa yang lewat menjadi sasaran pengeroyokan para taruna Akademi Kepolisian. Tak puas hanya memukul. Mahasiswa ditembak mati pula oleh salah seorang taruna. Mahasiswa yang menjadi korban adalah Rene Louis Conrad. Sedang mahasiswa lainnya melarikan diri.   

“Sambil mengendarai sepeda motor besar Harley Davidson-nya, Rene mendatangi bagian belakang salah satu truk yang sedang memuat para taruna, dan memaki para taruna itu dari atas sepeda motornya. Tiba-tiba terdengar tembakan dari arah truk, dan Conrad jatuh tersungkur; lalu bangun tetapi segera dikeroyok oleh para taruna yang kembali turun dari truknya. Rene sempat berlari, tapi terus dikejar bersama dan dihajar dengan koppel rim.”

“Terdengar pula beberapa suara tembakan yang ditujukan ke arah Asrama Mahasiswa dekat situ. Badan Rene Conrad yang terjatuh beberapa kali diangkat dan ditaruh oleh para taruna itu di mobil bak terbuka polisi. Mobil bak yang membawa badan Rene itu lalu melaju bersama rombongan. Beberapa waktu kemudian mayat Rene Conrad ditemukan di pinggir jalan di depan Kantor Polisi di jalan Merdeka,” ungkap Sri Bintang Pamungkas dalam buku Ganti Rezim Ganti Sistim (2014).

Peristiwa itu kemudian mencoreng wajah Polri. Aksi kekerasan dalam tubuh Polri dianggap seganap rakyat Indonesia sudah mendarah daging. Lagi pula, aksi kekerasan tak saja dilanggengkan oleh polisi aktif, tapi calon polisi pun turut melanggengkan kekerasan. Peristiwa ini lalu membuat Jenderal Hoegeng kalang-kabut. Sebagai orang nomor satu di Polri, Hoegeng memiliki tanggung jawab mengembalikan citra Polri yang hancur lebur pasca meninggalnya Rene Conrad.

Hoegeng bertindak. Tapi apa daya. Usahanya kandas. Konon ada kekuatan besar yang melindungi sederet taruna Akademi Kepolisian. Namun Hoegeng menyakini para taruna memang mengeroyok bahkan melepaskan tembakan. Keyakinan itu bertahan hingga Hoegeng dilengserkan Soeharto pada 2 Oktober 1971.

Keanehan muncul. Meski mati akibat ulah para taruna, orang yang menjadi tersangka malah seorang brigadir polisi, Djani Maman Surjaman. Djani justru tak ada sangkut-pautnya dengan pengeroyokan. Memukul pun tidak. apalagi melepas tembakan. Entah bagaimana hukum menjatuhkan vonis hukuman kepada Djani 1 tahun 6 bulan pada 1972. Alibinya persidangan mengungkap “kealpaan” Djani sebagai penyebat utama tewasnya Rene Louis Conrad.

 “Meskipun kasus Conrad bisa menimbulkan citra buruk bagi kepolisian hendaknya dimaklumi, bahwa sebagai suatu fakta soalnya tidak gampang didekati. Taruna yang melakukan penembakan, sengaja atau tidak, sebagai manusia mempunyai berbagai motivasi dalam melakukan penembakan itu.”

“Kasus penembakan itu tak bisa dilihat berdiri sendiri. Paling tidak berkaitan dengan perkelahian massal yang mendahuluinya, lalu sejauh mana hal itu mendorong perkembangan selanjutnya, termasuk tertembaknya Rene Louis Conrad yang mahasiswa ITB,” tutup Hoegeng sebagaimana ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H. dalam buku Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan (1993).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya