JAKARTA - Kehadiran jago atau bandit telah dianggap sebagai bagian penting elite raja Jawa sejak dulu. Jasa mereka dibutuhkan. Kadang kala sebagai tukang pukul dan penarik pajak. Kadang pula sebagai juru runding dan mata-mata. Sederet manfaat para jago dikenal sebagai siasat “menangkap maling dengan maling.”
Tiap daerah memiliki istilahnya tersendiri dalam menyebut gerombolan penjahat. Selain jago, istilah yang biasa digunakan adalah benggolan, brandal, weri, blater, dan lain sebagainya. Penyebutan itu disesuaikan dengan wilayah, waktu, serta fungsi yang dipegang oleh gerombolan penjahat. Namun, yang lebih popular adalah sebutan jago.
Secara terminologi, jago adalah orang kuat yang mendiami suatu wilayah, yang secara fisik maupun spiritual di atas rata-rata. Kekuatan jago biasanya bergantung pada jumlah anak-anak buahnya. Semakin banyak anak buah, semakin besar pula pengaruh seorang jago.
Alasan-alasan kemunculan jago ke muka umum pun tak selalu sama. Ada yang dipengaruhi oleh ketamakan, bertahan hidup, hingga muncul sebagai protes kepada pemerintahan yang berkuasa. Dalam menjalankan peranannya, para jago punya dua modal utama: sosial dan politik
Modal sosial menyangkut kekuatan fisik, spiritual, serta pengetahuan akrab mengenai keadaan wilayah kekuasaannya. Sedang modal politik mereka terdapat pada kecakapan dalam menggunakan kekerasan. Mereka juga dapat menjadi penengah antara jelata dan raja.
“Kendati sudah menjadi praktik umum bagi para jago untuk menyerang, menyerbu, dan menjarah desa-desa tetangga, mereka kerap sangatlah protektif terhadap komunitas mereka sendiri dan karena itulah mendapatkan kesetiaan dari masyarakat, meskipun kesetiaan tersebut juga dilandasi sebagiannya oleh rasa takut akan konsekuensi yang mungkin didapat apabila kesetiaan itu dikhianati. Kesimpulan tak terelakkan yang dicapai oleh rakyat adalah kekuasaan dan kejahatan itu muradif,” ungkap sejarawan Henk Schulte Nordholt dikutip Ian D. Wilson dalam buku Politik Jatah Preman (2018).
Kedua modal yang dimiliki oleh para jago nyatanya menarik perhatian elite raja Jawa yang berkuasa. Sebab, dalam praktik negara masa lampau, terutama masa kerajaan, kekuasaan selalu mendasarkan diri pada karisma raja. Salah satu upaya menjaga karisma itu dilanggengkan dengan memelihara para jago. Demi penguatan kekuasaan, katanya.
Para jago yang diajak kerja sama sering kali mereka yang sudah pernah diamankan lebih dulu oleh pihak kerajaan karena suatu aksi kriminal. Mereka yang mau bekerja sama segera diberikan wewenang dan pekerjaan seperti menjadi kepala desa.
Dengan demikian, mereka dibebani tugas untuk memerintah dan menentramkan daerahnya. Perlahan-lahan, para jago peliharaan raja menjadi siasat jitu membenturkan kriminal dengan kriminal. Atau dalam istilah lainnya “menangkap maling dengan maling.”
“Kebijaksanaan yang demikian didasarkan atas salah satu prinsip pokok tata pemerintahan di Jawa: pilihlah pejabat-pejabat dengan tanggung jawab kedaerahan pertama-tama atas dasar pengaruh yang sudah dipunyainya dalam masyarakat. Konon dan orang percaya, dengan mengikutsertakan kepala-kepala perampok demikian, maka khusus daerah mereka bebas dari gangguan perampokan dan pembegalan,” tulis Soemarsaid Moertono dalam buku Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX (2017).
Diikuti pemerintah kolonial Belanda
Masuknya era penjajahan Belanda tak serta-merta menghapus praktik pemanfaatan jago untuk kepentingan kekuasaan. Tingginya angka kriminalitas --perampokan, pencurian, dan pembakaran-- sering buat Belanda geram. Kegiatan ekonomi Belanda tertanggu oleh aksi para jago.
Sekalipun ada upaya melawan para jago, kuasa Belanda tak pernah cukup. Apalagi, Belanda belum mendominasi Nusantara secara penuh. Lagipula gejolak-gejolak perlawanan masih muncul di mana-mana. Sebagai siasat mengatasi para Jago, Belanda mencoba melakukan kontak dengan gerombolan penjahat itu. Mereka berkolaborasi.
Meski tak bekerja sama dengan semua jago, penggunaan para jago untuk menegakkan ketenteraman dirasakan cukup efektif. Pun karena Belanda sendiri belum ada niatan untuk membangun institusi negara yang berorintasi kepada stabilisasi keamanan dan kemakmuran di tanah koloni. Adapun mutu kepolisian Hindia-Belanda masih kurang memuaskan.
Karenanya, kekuasaan ditegakkan dengan jasa para jago. Yang mana, siasat itu dikenal dengan istilah “menangkap maling dengan maling.”
“Guna mengatasi perbanditan di pedesaan ini, Belanda sangat jarang sekali menggunakan pendekatan hukum-proses pengadilan-tetapi yang paling dominan yang dilakukan di Madura adalah dengan cara kekerasan (represif) dan melalui kolaborasi terselubung dengan para bandit itu sendiri. Penggunaan komunitas di dalam internal bandit itu sendiri adalah cara yang paling sering digunakan, karena negara kolonial tidak cukup mampu menyerap seluruh kekuatan masyarakat sampai ke akar-akarnya di pedesaan,” ujar Abdur Rozaki dalam buku Menabur Karisma, Menuai Kuasa (2021).
Lebih rinci lagi, dominasi Belanda atas Nusantara, boleh dikata baru dimulai pada 1830. Alhasil, alat-alat birokrasi Belanda baru memperoleh kepercayaan sekitar tahun 1900. Itupun Belanda tak pernah dapat memcampuri kehidupan kaum bumiputra sampai ke akar-akarnya. Sadar dengan kekurangan, Belanda mencoba menggunakan para informan dan para jago atau sistem maling menangkap maling. Lewat perpanjang tangan inilah, para jago memiliki peranan strategis.
Perwujudan dari kolaborasi antara pemerintah kolonial dengan bandit mulai menjamur pada abad ke-19. Setiap kepala desa kala itu memiliki ‘maling’ (jago) sebagai kaki-tangan. Mereka tunduk perintah dari pemerintah kolonial dan kepala desa. Keuntungan yang paling dirasakan adalah desa mereka takkan disinggahi oleh para garong. Di lain sisi, kala jago peliharaan kepala desa melakukan perampokan, maka kepala desa jadi orang yang lebih dulu mendapatkan bagian.
“Laporan lain mengatakan, mungkin bupati dan tokoh pangreh praja suatu kabupaten melindungi para pencuri ternak. Bupati memiliki banyak ternak, dan rupanya mereka membeli ternak yang dicuri dari daerah lain. Dalam konteks ini, bupati bukanlah seorang ‘pencuri’ dan tindakannya tidak merupakan kejahatan, sebab apa yang mereka ‘curi’ tidak lain adalah hasil dari ‘perang perebutan’ yang sah. Dalam konsep tradisional, batas antara kejahatan dan perang atau politik samar-samar,” tutup Ong Hok Ham dalam buku Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH NUSANTARA atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.