Bagikan:

JAKARTA - Minuman keras (miras) adalah wujud keberagaman Indonesia. Beda daerah, beda pula miras yang dihasilkan. Tuak, misalnya. Masing-masing daerah punya ciri khas masing-masing. Bukan mabuk belaka. Tuak adalah pelengkap ritual. Tuak juga zat pencair diskusi.

Di Pulau Sumtera tuak dibuat dari nira aren dan kelapa. Di Pulau Jawa tuak dibuat dari nira aren siwalan. Yang paling menarik, tuak tak saja sebagai pelepas dahaga. Dalam satu waktu tuak dipilih sebagai pelengkap ritual masa lalu, terutama untuk ritual para raja hingga sebagai zat pencair bagi kaum bumiputra berdiplomasi dan berdialektika.

Pengaruh China dalam pembuatan tuak begitu besar. Hal itu dibuktikan dari adanya catatan sejarah tertua dari masa Dinasti T’ang (618-907). Catatan itu memuat cara pembuatan tuak di Ka-ling (wilayah Jawa). Tuak diketahui jadi minuman yang diolah dari air bunga kelapa.

Bahan baku tuak berasal dari nira kelapa. Dikisahkan bahwa penduduk setempat telah membuat minuman keras dari bunga pohon kelapa yang panjangnya mencapai tiga kaki. Bunga ini dipotong, airnya ditampung menjadi miras. Rasanya amat manis. Akan tetapi cepat sekali membuat orang mabuk.

“Mereka membuat arak (tuak) dari bunga pohon kelapa yang menggantung. Jika mereka meminumnya, mereka cepat mabuk. Rasanya manis dan memabukan,” imbuh W.P. Groeneveldt dalam buku Nusantara dalam Catatan Tionghoa (2018).

Proses pembuatan itu tak jauh dengan tuak yang diproduksi di berbagai tempat lain di Nusantara. Teknik penyadapan nira dari mayang (tangkai bunga) keluarga palem sebagaimana yang terekam dalam catatan tertua Dinasti T’ang juga hadir di Batak Toba.

Pengambilan nira (Sumber: Commons Wikimedia)

“Di daerah Batak Toba, yang tuaknya dihasilkan dari nira pohon aren (bago) para penyadapnya disebut paragat, yang berasal dari kata agat yakni semacam pisau yang dipakai waktu menyadap nira dari mayang aren (bagot)," arkeolog, Ery Soedewo dalam tulisannya di jurnal Jejak Pangan dalam Arkeologi berjudul Produk Local Genius Nusantara Bernama Tuak (2009).

"Prosesnya diawali dengan pemukulan tandan aren berulang ulang dengan alat dari kayu yang disebut balbal-balbal selama beberapa minggu, baru dipotong mayangnya. Kemudian ujung tandan tersebut dibungkus selama dua-tiga hari dengan suatu ramuan yang dibuat dari kapur sirih atau keladi yang ditumbuk,” terlengkapi.

Lewat prosedur itulah nira mengalir dengan lancar. Kemudian, seorang paragat menyadap tuak dua kali sehari, yakni di pagi dan sore hari. Nira yang ditampung pagi hari lalu dikumpulkan di rumah paragat.

Setelah diuji coba rasanya, paragat memasukkan ke dalam nira sejenis kulit kayu yang disebut raru. Tujuannya supaya rasa dan alkohol tuak dapat terkontrol. Raru inilah yang mengebabkan peragian di dalam proses pembuatan tuak.

Eksistensi tuak di Nusantara

Potret seorang penjual tuak (Sumber: Commons Wikimedia)

Eksistensi tuak di Nusantara pun diikuti dengan banyaknya miras. Fakta ini memenuhi prasasti-prasasti di masa Hindu-Buddha sedari abad ke-10 hingga 14. Artinya, eksistensi tuak telah melaju sedari masa Kerajaan Mataram Kuno sampai Majapahit.

Beberapa di antaranya adalah prasasti Taji yang dikeluarkan oleh Raja Mataram, Wakutura Dyah Balitung (901 M); prasasti Kembang Arum (902 M); dan prasasti Rukam (907 M).

“Ketiga prasasti dari masa Mataram Kuno tersebut menyebutkan tuak di samping berbagai jenis makanan dan minuman lainnya, yang dihidangkan saat penetapan suatu sima (tanah perdikan/bebas pajak). Dalam kekhidmatan upacara penetapan sima, ternyata juga dimeriahkan oleh beragam jenis hiburan yang dimainkan oleh antara lain pemain gendang (mapadahi), pemain canang (régang), penyanyi (mawidu), dan sebagainya,” tulis Ery Soedewo.

Tak hanya itu, sumber tertulis terkait tuak turut dirangkum pula oleh Mpu Tantular dalam mahakaryanya Kakawin Sutasoma pada abad ke-14. Mpu Tantular banyak menjabarkan kisah-kisah pada masa puncak kejayaan kerajaan Majapahit, saat berada di bawah panji pimpinan Hayam Wuruk. Di masa itu, tamu raja yang bertandang dijamu dengan sedemikian mewah. Salah satu yang wajib ada saat perjamuan adalah tuak.

“Seluruh pengiring Raja Kasi telah mendapat bagian nasinya yang berlimpah-limpah. Tuak, badèg, waragang, kilang, brêm, tampo mengalir tanpa henti. Pada akhirnya tak tergambarkan. Setelah sang raja pulang dengan sang Sri Jinamurti duduk di depan, sampailah mereka di dalam puri,” ujar Mpu Tantular.

Pelengkap ritual dan diskusi

Kaum Bumiputra nikmati tuak (Sumber: Commons Wikimedia)

Gambaran tentang aktivitas yang menyertai tuak tak hanya bersifat untuk kesenangan semata. Tuak pada zaman dulu sering digunakan di aktivitas yang bersifat sakral. Sumber tertulis yang dapat ditelusuri adalah Kitab Pararaton (1613).

Dalam kitab itu disebutkan Raja Singhasari, Kertanegara digambarkan sebagai sosok yang pijer anadah sajeng (gemar minum tuak) mabuk tuak dalam ritual Buddha Tanrayana. Lalu, ia meninggal karena diserang musuhnya.

Pada dasarnya, ritual itu bertujuan untuk mencari titik nol hampa dengan bantuan alkohol. Kebetulan yang saat itu digunakan adalah tuak. Oleh sebab itu, tuak kemudian paripurna dikenal sebagai minuman beralkohol yang berfungsi sebagai pelengkap ritual di Nusantara. Lebih lagi, selain ritual minuman ini dikenal luas jadi “pelumas” diplomasi dan dialektika.

“Minum tuak menjadi tradisi orang Batak yang dilakukan sepanjang sore hari setelah aktivitas keseharian selesai dilakukan. Tradisi minum tuak berlangsung di kedai-kedai (lapo) tuak, dan tempat itu menjadi arena interaksi sesama orang Batak dan mendiskusikan berbagai hal dari rumah tangga, sampai sosial dan politik. Itu dari persektif positif,” tutup Herman Hidayat dalam buku Deforestasi dan Ketahanan Sosial (2019).

MEMORI Lainnya